Part 14 - Recrusive

61 10 0
                                    

Camellia menerjapkan matanya. Rasa sakit yang biasa membangunkannya seolah sirna; terbangun dalam keadaan yang biasa adalah hal yang luar biasa ketika ia baru saja menggunakan kemampuan tubuhnya sebagai seorang mutan.

Inderanya yang sekarang tentu saja lebih tajam dari sebelumnya, namun sekarang, ia tidak mendengar kebisingan apapun. Tidak ada suara manusia ataupun derap langkah kaki, padahal seharusnya gedung itu, atau minimal lantai ini, dipenuhi oleh para Beta. Dalam tidurnya pun, ia sejujurnya mendengar suara kekasinya, Leonel, yang entah sudah berapa lama ia tidak lihat. Lia berharap apa yang ia dengar bukanlah delusinya semata, namun kenyataan bahwa suara itu tidak lagi berada di sana ketika ia tersadar membuatnya kecewa. Namun, jika ia mengingat apa yang Blaire pernah katakan padanya, tidak menutup kemungkinan suara itu memang berasal dari Leonelnya.

Apa gunanya mempunyai kekuatan yang luar biasa apa bila tidak bisa digunakan untuk menolong orang yang ia cintai? Dari sekilas apa yang ia sekarang, orang-orang ini pasti tengah bergerak ke pusat kota untuk mengkudeta Alpha. Camellia telah memutuskan: ia harus menyusul mereka.

Gadis dalam balutan gaun berwarna gading itu melompat turun dari tempat tidur di mana tadi ia terbaring. Kakinya yang tidak beralaskan apapun langsung beradu dengan dinginnya ubin, namun ia tidak menggubris hal tersebut. Ia segera menyebrangi ruangan tersebut dan membuka pintu, ketika sesosok pemuda nyatanya telah berdiri di sana untuk menghalangi jalannya.

Ia tersentak, dan secara refleks melangkah mundur.

Pemuda adalah salah satu sosok yang paling dekat dengannya, dan seharusnya wajah itu sudah familiar untuknya. Seharusnya, karena kenyataannya pada saat itu Camellia sempat pangling dibuatnya. Sepanjang ia bisa mengingat, ia tidak pernah melihat Hubert membuat wajah yang sedemikian rupa; khawatir, marah, lelah. Semuanya tercampur aduk menjadi satu dalam air wajahnya yang begitu pucat.

Camellia merasakan pita suara dan kerongkongannya begitu kering, namun ia memaksakan diri untuk berbicara. Suaranya yang ringan pun lantas terdengar serak. "Hubert, aku harus pergi...."

"Tidak bisa."

Hubert tidak bisa membiarkan Camellia lewat, terlebih setelah Leonel menitipkan gadis itu padanya. Ialah yang waktu itu mendapati Leonel berusaha menyelinap keluar demi mendapatkan obat untuk Camellia secepat mungkin meskipun Blaire sudah melarangnya. Jika sesuatu sampai terjadi pada Leonel, sebagian kecil merupakan kontribusi perbuatannya.

Tujuan Leonel adalah untuk menyelamatkan Camellia, begitu pula dengan dirinya. Apabila Leonel maju untuk melakukan hal itu, Hubert tidak punya alasan untuk menghentikan seniornya itu meskipun apa yang ia lakukan akan mengorbankan nyawanya sendiri. Nyawa Leonel bukanlah bahan pertimbangannya.

Sayangnya, apa yang terjadi sekarang tidak semudah skenario di dalam otaknya. Sedikit banyak, ia bisa memahami perasaan Ravi sang Beta, ketika orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Yang berbeda adalah, Hubert tahu di mana ia harus berdiri. Memaksakan kehendaknya juga tidak akan membawanya kemana pun. Biarlah Camellia mencintai orang itu dengan segenap hatinya, sementara ia melindungi gadis itu dari jauh.

Meskipun kelak ia sendiri akan mencintai orang lain, biarlah Camellia tetap menjadi sosok yang berharga di dalam benaknya.

"Hubert, kumohon."

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang Leonel lakukan akan sia-sia jika pada akhirnya kau juga berubah menjadi monster, Lia."

Manik gadis itu terbelalak. Panik. Gadis itupun tergagap. "A-apa yang ia lakukan, Hubert?"

Hubert yang tidak kunjung menjawabnya membuat rasa penasaran sang gadis meningkat. Leonelnya yang sekarang jauh lebih nekad dan berani dari sebelumnya; ia tahu Leonel bahkan bersedia melawan atasannya ketika mereka tengah melakukan percobaan terhadapnya dulu. Dan ia yang sekarang pasti berani untuk melakukan lebih dari pada itu.

AmaranthineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang