Blaire Alden menatap dirinya kembali di cermin, untuk yang terakhir kalinya. Ada tiga alasan mengapa ia menyukai pakaian berwarna hitam; tidak cepat terlihat kotor, tidak mencolok untuknya menyusup di malam hari, dan yang terakhir, terlihat keren. Seringai tipis tersungging di bibirnya. Tubuhnya yang ramping terbalut atasan pendek berwarna hitam dan satu setel jumpsuit berwarna biru donker yang pada bagian torsonya di biarkan terbuka, dengan bagian lengan panjang dari jumpsuit itu diikatkan melingkar pada pinggangnya. Pada sabuk yang melekat di pahanya, tergantung beberapa jenis senjata kecil berupa jarum dan pisau.
Senjata api tentu tidak akan berguna jika lawannya adalah sesama mutan.Ada
Wanita memejamkan matanya sementara tangannya menggenggam erat cicin itu; cincin yang ia temukan tersemat di jarinya ketika ia terbangun dari koma dulu. Ia sempat melepaskannya, namun kali ini, ia akan mengenakannya untuk seumur hidupnya.
Ia memang bukan lagi manusia, namun ia masih hidup, dengan kehidupan yang pria itu berikan untuknya.
Persiapannya selesai.
Di ambang pintu, sang pemuda –yang kini berambut hitam legam- berdiri bersandar pada kusen pintu. Ia sendiri telah selesai dengan persiapannya. Ia mengenakan kaos tanpa lengan berwarna hitam, memamerkan otot bisep yang terbentuk dengan sempurna dan kulitnya yang dilukisi tato, serta celana kargo berwarna hitam yang telah dilengkapi berbagai macam senjata; terlihat dari betapa beratnya celana itu terlihat. Blaire tidak mengerti bagaimana tato itu masih bisa bertahan di sana setelah Ravi melalui proses mutasi; mungkin tubuh itu beradaptasi dengan tinta seperti tubuhnya beradaptasi dengan sel-sel Noir.
Ada dilema moral yang menghanti Ravi saat ini. Di satu sisi, ia tahu Blaire akan menemukan kehidupannya kembali apa bila Noir Alden masih hidup. Ia ingin melihat Blaire yang dulu; bukan orang yang paling cerah yang ia temui, namun pribadi yang begitu enigmatis dan berwarna. Namun di sisi lain, ia tahu jika Noir Alden masih hidup, maka utopianya akan sirna. Blaire pasti akan memilih bersama dengan pria itu ketimbang dirinya.
Ia bahkan terlalu takut untuk menanyakan wanita itu tentang ini. Menyedihkan, kan?
Yang ia bisa lakukan hanyalah menatap Blaire untuk selama yang ia bisa, dan berharap waktu berjalan seribu kali lebih lambat dari yang seharusnya.
Masih bolehkah ia beharap Blaire memilihnya kelak?
"Ravi?"
"Ya?"
"Ada apa? Kau tampak lebih diam hari ini," tanya sang wanita yang memilih untuk berjalan mendekati pria itu; teman dekat, partner, dan- entahlah. Blaire tidak tahu apa ia bisa menganggap Ravi lebih daripada itu, setelah semua yang mereka lalui.
"Apa salah jika aku takut kehilanganmu?"
"Apa-"
Matanya terbelalak. Ia terperanjat ketika pemuda itu mendorongnya, dan ia menemukan dirinya sendiri berada di atas tempat tidur, dan di bawah tubuh kekar sang pemuda. Ia sudah terbiasa dengan mata itu, mata bermanik emerald yang menatapnya begitu tajam, dengan keinginan melahap yang seolah telah terakumulasi sejak lama.
"Apa salah jika aku takut kita tidak akan kembali seperti ini?"
Blaire tidak bisa menjawab.
Tidak, ia tidak bisa membayangkan dirinya sendiri di mana pun setelah ini. Bayangan Noir yang terbangun dan memeluknya erat memenuhi kepala, namun ia tidak tahu apa ia akan sanggup melepaskan tangan Ravi. Egois. Mengapa ia menjadi sangat egois sekarang? Ia tahu, yang ia pedulikan bukanlah tentang Alpha maupun Beta, ataupun mereka yang menjadi korban percobaan manusia ini, melainkan tentang dirinya sendiri dan orang-orang yang berharga baginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine
Fiksi IlmiahDi masa depan, percobaan pada manusia terus dilakukan demi menciptakan ras manusia yang lebih baik dari sebelumnya; lebih cerdas, lebih kuat, tahan terhadap berbagai penyakit, atau bahkan hidup abadi. Sebagai seorang Alpha, Blaire hanya menginginkan...