"Kenapa kau melakukan ini padaku, Ravi?"
"Apa maksudmu?"
"Semuanya! Kau tahu aku tidak akan bisa memberikan perasaan itu untukmu."
Pemuda itu mendekatkan posisi tubuhnya, dan mempertemukan keningnya dengan sang wanita. "Blaire, kalau memang kau sama sekali tidak memiliki perasaan untukku, kenapa kau tidak mengelak?"
"Aku tau kau tidak akan mengkhianatiku, Ravi." Walaupun, ia bukanlah pilihan pertamanya.
"Siapa aku di matamu?"
Wanita itu lantas memeluk tubuh sang pemuda, mendekapnya. "Entahlah. Untuk sepersekian detik kau terasa seperti adik untukku tapi terkadang kau lebih dari itu."
"Maaf saja tapi aku memang memiliki perasaan yang lebih untukmu, Blaire," timpal sang pemuda bersurai perak sementara tangannya perlahan menelusup ke balik jaket yang dikenakan sang wanita, menyentuh hangatnya permukaan kulit wanita itu.
Blaire mendesah- entah karena sensasi dingin yang tiba-tiba menyapa kulitnya atau memang sentuhan-sentuhan Ravilah yang membuatnya tidak bisa menahan diri.
Blaire terbangun ketika ia merasakan kedua tangan itu merengkuhnya erat dari belakang. Kulit bertemu kulit, saling bersentuhan dan berbagi kehangatan- kontras dengan rasa dingin yang beberapa detik lalu terasa di pikirannya. Tak ada sehelai benangpun yang menjadi batas di antara keduanya. Pelukan yang terlalu erat yang sekarang tengah diberikan Noir dan diiringi erangan pelan akibat igauannya membangunkannya dari tidur, dan ia sejujurnya senang bisa terbangun dari mimpi itu.
"Blaire...."
Pemuda itu memanggil namanya, entah dalam keadaan sadar atau tidak. Sepertinya ia memang memiliki kesukaan tersendiri dengan pria beruara berat; ia bahkan bisa mendengarkan Noir berbicara seharian penuh tentang apapun, walaupun pada akhirnya ia akan mendengar tentang dirinya sendiri. Mimpinya barusan, atau mungkin sepotong memori yang kebetulan kembali berputar di otaknya, membuatnya merasa bersalah pada Noir- yang benar saja, pria ini adalah tunangannya sementara ia memberikan kesempatan untuk Ravi mengutarakan perasaannya.
"Maafkan aku..."
Pemuda itu kembali meracau, seolah-olah ia sedang mencari gadis itu di dalam benaknya. Dekapan itu semakin erat menunjukkan betapa ia begitu takut melepaskannya dalam mimpi sekalipun; sementara Blaire malah berusaha menahan isaknya- bodoh. Setiap detak jantungnya terasa perih sekarang. "Blaire...."
Wanita itu membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menyentuh pipi pemuda itu lembut. Ia mendekatkan wajah mereka, tidak menyisakan jarak barang seinci. Ia ingin pemuda itu merasakan kalau ia berada di sana; ia tidak meninggalkan sisinya, sampai kapanpun. Tak ada seorang pun yang membuat jiwanya setenang ketika ia berada bersama Noir, tak peduli apapun yang tengah ia hadapi.
Tak ada seorang pun.
"Aku ada di sini, Noir...."
Dan akan selalu berada di sini.
Dekapan itu kembali mengerat dengan lembut. Pemuda itu sempat membuka matanya, memamerkan sebuah manik hitam yang menatapnya begitu dalam. Pada umumnya seseorang takkan bisa melihat bola matanya sendiri tanpa bantuan cermin, namun tidak dengan Noir. Ia bahagia bisa melihat salah satu manik hitam legamnya yang bersanding dengan manik cokelat madu milik sang wanita yang kini membalas menatapnya. Sejujurnya, mata itu jauh terlihat lebih hidup ketika ia berada bersama wanita itu.
Ia sangat tidak ingin melepaskan wanita ini, wanita yang ia tahu akan ia cintai seumur hidupnya. Cintanya pada Blaire mungkin merupakan satu-satunya hal yang tidak bisa ia jelaskan secara logis, namun ia yakin ia bisa membuat seribu jurnal hanya untuk menuliskan betapa ia mengagumi wanita ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine
Science-FictionDi masa depan, percobaan pada manusia terus dilakukan demi menciptakan ras manusia yang lebih baik dari sebelumnya; lebih cerdas, lebih kuat, tahan terhadap berbagai penyakit, atau bahkan hidup abadi. Sebagai seorang Alpha, Blaire hanya menginginkan...