9. Rencana Besar

157 14 3
                                    

"Ini adalah berkas-berkas yang kau minta," ujar Laura setelah meletakkan tumpukan dokumen di atas meja kantor Eleanor.

Wanita cantik di depannya memandang semua dokumen itu dengan serius. Jemari lentiknya mulai menyebarkan dokumen itu di atas meja dan mengecek satu per satu isi-isi di dalamnya. Sementara Laura berjalan ke sofa di ruangan itu dan duduk di sana.

"Apa yang akan kau lakukan dengan semua data dari perusahaan Grivanka itu?" tanya Laura sedikit penasaran.

"Ku pikir kau sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan keluargamu itu karena sudah memiliki perusahaan sendiri yang hampir sama besarnya," lanjut wanita berambut hitam pekat itu.

Kini tubuhnya ia senderkan dalam-dalam pada kepala sofa. Hari sudah menjelang malam. Cukup melelahkan mengumpulkan setiap dokumen dari perusahaan terbesar di Boston itu. Mulai dari pemasukkan, pengeluaran, kerja sama dari bertahun-tahun lalu, bahkan utang-piutang yang menjalankan perusahaan itu.

Untungnya, Laura memiliki hubungan yang sangat baik dengan sekretaris Nicolas, atau bisa dikatakan dia memiliki hubungan khusus dengan pria yang menjabat sebagai asisten nomor satu Nicolas. Sehingga sedikit memudahkannya dalam mengumpulkan segala hal yang dimina oleh Eleanor.

Wanita berambut pirang dengan paras seperti dewi-dewi di lukisan pelukis inggris itu masih fokus pada segala kertas yang berserakkan di depan matanya. Seolah wanita itu sedang memahami dan merencanakan sesuatu.

"Kau berencana membaca semua itu malam ini?" tanya Laura "ku pikir ada baiknya kita berdua pulang dan melanjutkan segala sesuatu di besok hari saja," lanjut wanita itu.

Sekarang sudah lewat dari jam pulang kantor dan hari ini Eleanor sudah melakukan sebanyak tiga rapat berturut-turut dari pagi hari, jadi wanita itu merasa tidak baik bagi bosnya untuk terus melanjutkan pekerjaannya.

Mereka berdua harus beristirahat atau keduanya akan drop besok hari, itu yang dipikirkan Laura. Tetapi bagi Eleanor, waktu untuknya semakin sedikit. Sesuatu yang harus dia kerjakan membutuhkan banyak langkah dan persiapan, jika dia lengah sedikit maka semuanya bisa gagal.

"Kau pulang duluan saja," ujar Eleanor setelah sekian lama hanya diam memandang kertas-kertas di mejanya. "Aku masih harus membaca semua ini," lanjut wanita itu tanpa sedikitpun melirik pada Laura.

Wanita berambut hitam itu berdecak kesal. "Kau harus memikirkan kesehatanmu juga. Minggu ini sudah terlalu padat bagimu, mulai dari rapat dengan berbagai perusahaan, mempelajari perusahaan Joshua, mengurus berbagai urusan produk baru kita yang akan keluar bulan depan dan sekarang kau masih mau melanjutkannya dengan membaca data perusahaan keluargamu sendiri? Kau bisa melakukannya besok hari," omel Laura.

Eleanor mengangkat kepalanya, memandang lurus pada wanita yang sudah bersamanya hampir lima tahun itu. Tatapan yang berisi berbagai macam emosi yang tidak bisa Laura pahami.

"Baiklah, terserah". Laura menyerah.

Wanita berambut hitam sebahu itu mengambil tasnya dan berdiri akan segera meninggalkan ruangan Eleanor tersebut.

"Terakhir, tolong atur pertemuanku dengan pengacara keluargaku," ujar Eleanor.

"Minggu ini, di akhir pekan. Tanyakan padanya kapan kami bisa bertemu".

Laura menghela napas berat. Dia sama sekali tidak mengerti sebenarnya apa yang sedang dikerjakan oleh Eleanor, wanita berambut pirang itu tidak pernah mengatakan apapun padanya selain menyuruhnya ini dan itu.

"Aku akan melakukannya besok," ujar Laura menjawab permintaan Eleanor.

Eleanor mengangguk dan kembali menundukkan kepalanya, membaca dokumen-dokumen yang ada di depannya dan terlihat tidak akan mengatakan apapun lagi. Laura melangkahkan kakinya keluar berniat segera pulang daripada harus bertengkar dengan Eleanor jika dia masih bertahan di sana.

Caught YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang