EIGHTEEN : SEPERTI POHON

15K 970 22
                                    

Sivia menuruni tangga rumah yang melingkar Indah ditengah ruangan rumah tua itu. Tenggorokannya kering, telfonan dengan Alvin membuatnya haus. Cowok sipit itu amat sangat klop dengannya, jadi apapun topiknya selalu membuat Sivia tak berhenti bicara, pun kekasihnya tersebut. Seperti tadi, mereka hanya membahas tentang iklan susu rasa kelapa muda dan pisang yang baru-baru ini muncul di TV, tapi hebohnya sampai membuat Tante Rina menggedor pintu kamarnya agar tidak ribut.

"Tante-tante jones ya gitu. Sorry ya Alvin. " kata Sivia tadi saat ia hendak memutus sambungan telponnya karena ingin minum. Kemudian gadis itu pun dihadiahi jitakan keras oleh Tante Rina.

Tante Rina sebenarnya cantik, cuma umurnya sudah kepala tiga dan belum berpasangan. Kan tidak salah kalau Sivia bilang tantenya itu jones. Ya kan? Oke ini tidak penting.

Setelah mencapai dapur, Sivia mendapati Ify yang sedang mengepel lantai teras belakang rumah yang terhubung langsung dengan dapur. Sivia terkekeh tanpa suara, lalu gadis itu minum. Setelah itu Sivia berjalan mendekati Ify, berdiri di ambang pintu teras.

"Lihatlah dan bukalah mata hatimu... Melihat yang lemah terluka... Namun semangatnya takkan pernah pudar... Hingga Tuhan kan berikan jalan... " senandung Sivia dengan wajah mengiba, membuat Ify yang sudah kelelahan, berteriak frustasi sambil melempar kain pel ditangannya.

"Pergi lo sipit! " kata Ify kesal. Bukannya takut melihat wajah garang Ify, kali ini dengan songongnya Sivia melempar balik kain pel Ify dan menunjuk pantatnya pada Ify. Lalu ia segera kabur tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, dimana Ify sudah menjeritkan namanya dengan marah.

Ify ngos-ngosan, susah payah ia meredam emosinya yang mudah sekali tersulut dengan keadaannya saat ini. Ia memakai daster, rambut di ikat asal, serta wajah berminyak dan berpeluh. Yoshh, Ify cantik sekali dipagi Minggu yang cerah ini. Huft, kalau bukan karena Oma Ida, Ify tidak akan mau melakukan semua ini.

Huhu, bayangkan. Pukul 4 pagi Ify sudah bangun dengan tiga buah jam alarm yang berbunyi dikamarnya. Entah siapa pelakunya, tapi siapapun itu, akarnya ada di Oma tirinya tersebut. Hal itu sudah menjadi pertanda bahwa takkan ada lagi hari libur bagi Ify. Tidak akan pernah lagi ia bisa bermesraan dengan kasur sampai siang dan akan selalu bertampang emak-emak disetiap harinya.

Setelah bangun Ify disuruh menyetrika semua baju yang ada dikeranjang pakaian. Lalu saat adzan subuh berkumandang, Ify di suruh sholat dikamar Oma dengan Sivia. Tentunya nenek-nenek itu ingin memastikan kalau mereka benar-benar sholat.

"Sholat tuh kesadaran diri sendiri, nggak boleh ada unsur pemaksaan. Ya nggak sih?! " gerutu Ify setelah sholat tadi. Eh, dia ikhlas sholat kok tadi, cuma masih kesal dengan Oma Ida.

"He'eh. " jawab Sivia sambil menguap. "Tapi kalo nggak dipaksa, kita nggak bakal sholat. Maksud Oma baik kok, Fy. " lanjutnya.

"Iya, gue tau. Tapi apapun itu, gue sebel sama Oma. " kata Ify.

Pukul setengah 7 Ify sudah selesai menyetrika. Emm... Seperempatnya rapi, sisanya sih Ify asal-asalan dengan hasil selembar pakaian gosong karena kepanasan. Dan tanpa memberi tahu Oma sampai saat ini, Ify melanjutkan pekerjaan-pekerjaannya yang sudah dicatat Oma dalam kertas.

"Mamiiii, Ify mau pulang! " keluh Ify sambil membanting kain pelnya. Ia benar-benar sudah tak tahan kalau seperti ini jadinya. Lihat, nenek-nenek bertampang preman itu bahkan dengan enaknya ngerumpi dengan tetangga sebelah yang juga nenek-nenek dibawah pohon kedondong rumah sebelah. Ify yang hanya mampu melihatnya dari teras merasa amat sedih karena tak bisa ikut bergabung. Bergabung duduk-duduknya saja maksudnya. Melihat roti malkis coklat itu masuk ke mulut keriput mereka yang terpoles lipstik merah darah itu membuat Ify lapar. Padahal sudah sarapan.

My Bad IfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang