Tangan Ify dingin, Rio bisa merasakannya. Sejak dari rumah sakit tadi hingga setengah perjalanan menuju rumah, gadis itu berulang kali menghela nafas. Sorot mata tajam yang biasa ditunjukkan gadis itu seketika redup, berganti dengan kekosongan. Sumpah, Rio rela dikentuti Ify sampai teler atau opname sekalian. Ikhlas Rio mah. Dibandingkan dengan melihat gadis tirus itu diam seribu bahasa dengan bahu yang sesekali bergetar seperti itu, Rio mau mati rasanya.
Rio lagi nina-boboin si Monyet tadi ketika ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Itu Sivia. Langsung saja Rio angkat dengan tingkat penasaran yang...biasa aja. Namun didetik berikutnya tubuhnya membeku ketika menangkap suara isakan kecil yang...kayak ada manis-manisnya. Di seberang sana Rio juga mendengar tangisan lain yang ia yakini bahwa sesuatu yang gawat telah terjadi.
Langsung saja cowok pesek itu mendesak Sivia untuk memberitahu, dan ternyata Maminya Ify di timpuk guci. Rio sempat ingin berkata 'WAW! ' kalau tidak sadar kondisi. Ini guci loh, kristal lagi. Selain keras, harganya mehong! Bisa buat jajanin Ify cilok berapa tahun itu?!
"Mau makan apa, Bun? " tanya Rio lembut sambil mengusap wajah sembab Ify yang lengket, bekas air mata. Lampu hijau masih lama, jadi Rio bisa unyel-unyel pipi gembul pacarnya dulu.
Ify menggeleng samar.
"Minum aja ya? Itu ada supermarket, Ayah beliin, ya?" tanya Rio lagi.
Ify tetap menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca pintu mobil.
Rio menghembuskan nafas pasrah, "Cium aja mau? "
Ify tersedak air matanya sendiri yang mengalir melewati lekukan hidung bangirnya dan masuk mulut. Gadis tirus itu kemudian mendelik ke arah Rio, membuat cowok peseknya memamerkan gigi putihnya.
Tapi Rio terkadang tak peduli dan tak takut dengan picingan mata gadis tirusnya ini. Dengan santai ia mendaratkan kecupan singkat dimata kanan Ify yang bengkak. Lalu belepak-belepok tubuhnya digeplak Ify. Tidak apa-apa, serius. Rio lebih tahan jika dikasarin Ify dibandingkan melihat kondisi mengenaskan Ify.
"Martabak tuh, yuk? " Rio menunjuk ke arah seorang pedagang martabak disisi kiri jalan. Lalu menatap Ify dengan harapan gadis itu mau, karena sejak sore tadi Ify belum makan.
Tapi Ify menggeleng.
Tiiinnn.... Tiiinnn...
Rio melepas rem tangan dan mobil perlahan melaju, lampu hijau. Cowok itu melirik Ify dengan ekor matanya.
"Bunda mau makan apa? Udah tengah malam ini, emangnya nggak lapar? " tanya Rio sembari tangan kirinya mengelus rambut Ify dengan lembut.
"Gak. " jawab Ify singkat.
Kryukk kryuukk...
Ify menepuk perutnya pelan sementara Rio ngakak tak karuan. Ini cowok ya, kalau soal menertawakan Ify memang yang paling ikhlas lahir batin asalkan setelahnya Ify tidak mengamuk. Tanpa meminta persetujuan Ify, Rio menepikan mobil di depan sebuah restoran pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Ia tak menjawab kebingungan Ify, cowok itu melepas safety bealtnya.
"Ayah beliin Pecel Ayam. Gak mau tau, pokoknya Bunda harus makan apapun yang Ayah beli, apapun yang Ayah pesen." Kata Rio dan setelah itu ia keluar.
Ify menatap tubuh kurus Rio yang berjalan mengitari mobil, lalu hilang memasuki tempat makan tersebut. Ify menghela nafas pelan lagi, mengusir sesak yang masih melingkupi dadanya. Jam tangan mungil di tangan kirinya menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Itu artinya waktu sudah berlalu delapan jam lebih sejak kejadian tadi sore.
Mengingat hal itu membuat Ify kembali ingin menangis. Tapi sekuat mungkin ia menahannya, matanya sudah sangat bengkak dan baru kali ini Ify merasakannya. Ya, bagaimana tidak? Maminya tak sadarkan diri di rumah sakit dengan tubuh dililiti kabel-kabel penyokong kehidupannya. Sementara Papi ditahan di kantor polisi karena Oma melaporkannya pada pihak yang berwajib dengan tuduhan KDRT.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Ify
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] "Lo tau? Setidaknya hidup gue nggak hancur-hancur amat semenjak kehadiran lo. Lo... buat hidup gue punya arti sedikit, dan selalu bikin gue bahagia. Gue cinta sama lo." -Ify- "Lo mabok ya? Omongan lo ngawur gitu. Tapi, okelah. Setidak...