Mobil Bintang pun dengan segera membelah jalanan ibukota yang untungnya hari ini tidak terlalu macet. Suasana canggung di mobil itu. Iva tidak suka dengan suasana ini tapi ia lebih memilih untuk menjadi pasif.
Akhirnya sampai. Dengan segera Bintang memarkirkan mobilnya di depan Starbucks yang dituju.
"Caramel Frappucino satu ya mbak,"pesan Bintang"Lo mau apa?"
"Green tea latte."
"Dengan kaka siapa ya?" tanya mbak nya ramah.
"Bintang sama Iva."
Pembayaran minumannya telah dibayar Bintang. Jadi, secara tidak langsung Bintang mentraktir Iva. Padahal nyatanya kan Iva yang ngajak ia kesini.
"Silahkan ditunggu di sebelah ya kak."
Bintang beranjak ke tempat pengambilan minuman sambil menyuruh Iva mencari tempat duduk,"Lo duduk aja sana. Nanti gue bawain."
Iva merasa spesial banget untuk hari ini.
Selama Iva duduk menunggu Bintang, ia terus berpikir. Bagaimana ia menanyakannya ke Bintang. Pertanyaan itu terus di ulang-ulang di otaknya.
Bintang pun datang sembari menaruh kedua minuman tersebut di meja. Dan...
"Kenapa lo begitu benci sama Jihan?"
Pertanyaan itu terlontar secara tidak sengaja. Bahkan, Bintang duduk pun belum.
"Ha? Ngomongin apa sih lo?"
Karena sudah terlanjur kenapa tidak dilanjutkan saja, itu yang ada di benak Iva.
"Kenapa lo bisa benci sama Jihan?"
"Benci? Kata siapa lu gua benci sama dia?"
"Dari sikap lo. Lo tuh seakan-akan gamau untuk dekat-dekat sama dia. Seakan jijik sama dia,"ucap Iva menekankan kata jijik.
Bintang hanya menatap Iva datar.
"Kalo gue jijik sama dia, gue ga bakal tuh dateng ke acara ultah dia. Jauh loh dari rumah gue ke cafe itu. Yang hingga pada nyatanya orang nya malah udah pulang."
Benar juga.
"Dan satu hal lagi, kalo gue jijik sama dia, gue ga akan pernah kabur dari hadapan dia kalo dia pengen ngobrol sama gue."
Iva tidak ingin kalah.
"Tapi, lu lebih sering memotong perbincangan lu sama dia. Dengan alasan klise lagi."
"Jadi ini yang ingin lo omongin ke gue? Hanya ini? Sampai kita diliatin se warga Starbucks karena volume suara lu yang ga bisa dikontrol itu."
Dengan rasa bodo amat nya Iva, Iva tetap membalas ucapan Bintang.
"Hanya menurut lo? Mungkin lo ga ngerasain. Lo ga ngerasain curhatan Jihan tiap malem. Sedihnya Jihan. Dan senangnya Jihan yang terlalu over ketika ia berhasil ngobrol sama lu. Lu ga ngerasain itu semua, Bin."
Dan Bintang pun mengalah. Bukan karena ia tak bisa menjawab pernyataan Iva. Tapi, ia juga masih mempunyai urat malu di tempat umum.
"Yaudah, terserah lo. Jadi lo mau apa? Mau tau kenapa gua kenapa bersikap kaya gitu ke Jihan? Inget ya bukan benci."
Dengan muka songongnya Iva, Iva menganggukan kepalanya.
"Gua ga suka sama cewe yang ngejar-ngejar cowo. Buang-buang waktu dan menjatuhkan harga diri dia sendiri secara tidak langsung."
Buang-buang waktu dan menjatuhkan harga diri dia sendiri secara tidak langsung.
Iva tidak setuju temannya di rendahkan oleh gebetan temannya sendiri lalu dengan tegas ia menjawab,"Dan lo juga secara tidak langsung memberi kesan gue lo sebagai cowok tidak baik. Untung aja Jihan ga ada dan ga mendengar apa yang baru aja lo omongin. Gue mau balik. Ambil aja minuman gue. Nih uangnya. Ga perlu di traktir sama orang yang ga punya etika."
Bintang menahan lengan Iva.
"Biar gue anter lo. Ambil minumannya. Kalo lo ga ambil berarti lo juga ga bisa ngehargain gue."
Dan disinilah mereka. Kembali di mobil yang penuh kecanggungan. Selama perjalan hanya lagu saja mengisi kekosongan itu. Hingga sampai di rumah Iva.
"Thanks,"ucap Iva spj.
Sebelum Iva turun dari mobil Bintang, ia sempat berbicara pelan sekali.
"Gue ga seburuk yang lo kira, Va."
Lalu, Bintang menancapkan gas meninggalkan komplek Iva. Iva sempat mendengar apa yang baru saja Bintang katakan.
Mobil Bintang pun semakin lama semakin jauh dan semakin mengecil.
YOU ARE READING
NUTS[1]- Bintang
Ficção Adolescente"Mau kemana Va?"tanya Bintang sembari berusaha mengejar Iva. Iva dengan rasa bodoamat dan cuek-nya menjawab,"Ga kemana-mana. Udahlah lu sama Jihan aja sana. Ngapain ngurus gue. Tar juga gue balik." Bintang tetap menunggu Iva setelah ia melontarkan k...