You're My Cup of Tea

232K 4.4K 193
                                    

Entah sudah berapa lama aku memandang curiga pada dua orang yang sedang duduk lumayan jauh dariku. Hari ini aku sedang berada di rumah Rafa –seminggu lalu mereka resmi pindah rumah, menghadiri syukuran rumah baru sekaligus syukuran kehamilan Ara. Dua orang di depanku yang terlihat amat mencurigakan adalah sahabat terdekatku a.k.a ARA dan juga orang terdekatku a.k.a AYAHKU. Sudah lebih dari setengah jam mereka ngobrol serius –entah kenapa feelingku jadi nggak enak, ini serius, tiap kali Ara ngobrol serius dengan Ayah atau Bundaku pasti akan ada kejadian buruk menimpaku. Contohnya, entah semester berapa kemarin-kemarin Ara dan kedua orangtuaku terlibat percakapan serius –yang pastinya aku tak tahu apa obrolan mereka, namun setelah obrolan itu terjadi kesialan menimpaku. Kebebasan yang selama ini ku dapat, musnah begitu saja, ayah dan bunda selalu membatasi jam keluarku dan setiap keluar harus punya tujuan dan alasan yang jelas. Dan yang lebih parahnya lagi, tiap aku pamit keluar ayah dan bunda akan bertanya jam berapa aku pulang –padahal belum juga aku berangkat, kalau aku keluar lebih dari jam yang aku sebutkan, ayah dan bundaku akan seperti orang kesetanan menghubungiku dan tentu saja menyuruh pulang.

Setelah kejadian kemarin orang tuaku berlaku aneh, kerjaannya berubah menjadi tukang koreksi setiap perilakuku yang menurut mereka nggak cewek banget. Bahkan sekarang mereka memaksaku belajar masak, padahal sebelum-belumnya mereka nggak pernah keberatan kalo aku males-malesan gitu. Anggap aku sial hari ini, entah sudah berapa lama aku berkutat dengan ayam sial ini. Kenapa harus ada ayam di dunia ini, oh tunggu tidak Cuma ayam, sapi juga dan yang paling parah adalah kambing, aku benci ke tiga jenis hewan itu saat belum di masak.

“bund, ini udah yah ayamnya?”pintaku memelas, sumpah aku hampir muntah dengan bau amisnya, aku adalah tipe orang yang memiliki toleransi rendah pada bau amis.

“itu belum bersih kamu nyucinya.” Tegur bundaku, terpaksa dengan berat hati aku melanjutkannya, mana berani aku protes lagi, bisa-bisa bundaku berubah rock n roll.

“nduk, kamu itu anak perempuan lo. Harusnya pinter masak, bunda dulu waktu seusiamu gini udah jago masak.” Celoteh bunda sambil mengaduk sayurnya. Aku hanya diam, sudah pasti bibirku ini cemberut akut karena harus berkutat dengan hal yang seperti ini.

“anak perempuan itu, nggak boleh kaya kamu gitu. Kalo masak yang ikhlas biar masakannya enak.” Sindir bundaku, aku hanya bisa mencibirnya saja.

“ehh, dibilangin orang tua kok malah gitu. Jangan jadi kebiasaan lo!” tegur bunda semangat.

“bund, bunda kan tau Lia paling anti sama hal-hal berbau amis seperti ini.” Rengekku.

“iya bunda tau, tapi kamu tetep harus latihan. Gimana nanti kalo suamimu doyan banget sama kambing? Masa harus beli jadi terus?” omel bunda.

“ya gampang, bawa aja kesini trus minta dimasakin sama bunda.” Jawabku santai.

“boleh asal sekali masak harus bayar mahal sama bunda.” Jawab bunda sebal.

“yee, mending beli kalo gitu.” Sungutku.

“suami itu akan sangat menghargai masakan istrinya, walaupun rasanya aneh sekalipun.” Kata bunda masih semangat, sementara aku? Entahlah, mungkin tak sampai lima menit lagi aku akan pingsan.

“nggak juga, buktinya ayah suka ngomel kalo masakan bunda keasinan.” Jawabku sebal.

“walaupun ngomel tapikan masakan bunda tetep dimakan sama ayah, di habisin malah. Karena masakan istri itu yang paling spesial, dimasak dengan cinta.” Lanjut bunda lebay. Serius jadi beneran pengen muntah.

“aku mau nyari suami yang nggak doyan makan aja biar nggak perlu masak.” Jawabku sekenanya.

“nikah aja sama hantu, biar nggak perlu masak, palingan Cuma siapin menyan sama kembang.” Omel bunda sadis.

You're My Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang