Lia pov
Disinilah aku sekarang, duduk manis di dalam kereta menuju Malang sejak beberapa jam lalu. Sejujurnya aku sangat menikmati perjalanan ini, berdua dengannya dan menuju ke kampung halaman kami (ayah Tomas orang Malang dan kedua orang tuaku asli Malang) terasa amat sangat menyenangkan.
Ini sudah bulan keempat pernikahan kami, suamiku? Masih sehangat bongkahan es. Bedanya sekarang dia sudah mulai mengajakku mengobrol atau mengajakku menemaninya pergi ke suatu tempat, entah itu pesta rekan bisnisnya atau sekedar jalan-jalan.
Malam mulai menyapa, entah sudah berapa jam tepatnya kita bersama, walaupun tanpa kata, namun hatiku masih selalu berdebar tiap kali berada di samping Tomas, masih sama saat pertama kali aku bertemu dengannya. Seharusnya malam ini masuk kedalam catatan sejarah hidupku, pertama kalinya menghabiskan waktu bersama, terlama selama kita kenal. Ini benar-benar pertama kalinya kita duduk bersama selama hampir 24 jam. Kami sudah sampai Madiun, ini masih memerlukan waktu empat jam lagi, lama-lama pegal juga badanku kalau seperti ini.
“kamu nggak mau tidur?” tanya Tomas tiba-tiba, mengagetkanku yang sedang seru melamun.
“eh? Belum, takutnya nanti kebablasan tidur, nggak kerasa kalo udah nyampe.” Jawabku canggung.
“nanti aku bangunin, kamu tidur aja ya biar nggak terlalu capek. Butuh tebengan?” lanjutnya sambil menepuk-nepuk lengannya, tempat favoritku untuk menyandarkan kepala mungil ini.
Wajahku memerah, tersipu-sipu, seperti kucing yang malu-malu tapi mau, aku mengangguk pelan. Tomas meraih kepalaku dan menyandarkannya di lengannya, tangan kirinya yang bebas membelai rambutku pelan, andaikan bisa, aku akan menghentikan waktu sekarang juga. Berlama-lama dalam posisi ini, menghirup aroma maskulin Tomas yang selalu ku rindukan memenuhi paru-paruku, menikmati belaian tangan Tomas dikepalaku sepuasnya, dan yang paling penting hanya kita berdua. Pelan-pelan aku mulai hilang kesadaran, ketenangan dari belaian Tomas membawaku pergi ke alam mimpi lebih cepat dari biasanya, bahkan di tempat paling tidak nyaman seperti ini.
“Li, bangun, kita udah nyampe nih.” Ku dengar sayup-sayup suara Tomas diiringi guncangan ringan pada pundakku.
Aku menggeliat malas, ini bahkan masih gelap, adzan subuh pun belum berkumandang. Capek sekali badanku, aku membenarkan posisiku mencari posisi nyaman.
“sayang, kamu nggak mau turun apa?” suara itu lagi, suara Tomas, tapi kali ini.. dia panggil aku apa? Sayang? Apakah dia sedang memanggil seseorang yang ada di kereta ini selain aku? Tunggu, kita masih di kereta dan aku dengan seenak jidat tidur? Ya tuhan, cepat-cepat aku membuka mata, mengerjab beberapa kali.
‘ugh!’ aku menggeliat merenggangkan otot-ototku, sakit semua rasanya. Aku melirik ke arah Tomas yang sedang tersenyum geli melihatku.
“apa?” tanyaku malu-malu.
“nggak apa-apa, pules banget tidurnya? Padahal sambil duduk lo.” Godanya. Aku diam, terlalu malu untuk mengakui ke-kebo-anku saat tidur.
“ya udah ayo turun, keburu jalan lagi keretanya.” Ajaknya sembari menggandeng tanganku erat, apakah sesuatu terjadi saat aku tertidur tadi? Apakah kita tadi melewati daerah angker sehingga Tomas ketempelan hantu baik hati?
Aku menurut digandeng oleh Tomas, hangat terasa sampai ke hati. Nyaman.
“itu dia jemputan kita.” Tomas menyeretku menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari stasiun ini.
“hai Tomy, apa kabar?” seorang pria langsung ber high-five ria dengannya saat kami sudah berada di depannya, oke i don’t know him.
“baik bro, kenalin ini istriku.” Jawab Tomas riang sambil merangkulku, ini pertama kalinya kami berangkulan –umm, atau udah lebih dari sekali ya? Kenapa dia jadi begini? Apa karena ada temannya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Cup of Tea
Romancewe're perfect each other, cos you're my cup of tea.