Tomas pov
Hari ini Lia akan bekerja di kantorku, aku memang yang meminta dia bekerja di kantorku. Bagaimana pun aku juga ingin sembuh dari penyakit gagal move on ini dan entah kenapa aku merasa yakin Lia dapat merubahku. Hanya saja yang aku rasakan akhir-akhir ini adalah aneh, aku tak biasa berinteraksi seperti ini kepada gadis mana pun. Oke aku pernah berinteraksi seperti ini dengan Syifa –sepupu Rafa, tapi pada akhirnya aku tak tahan lagi. Rasanya begitu berbeda, tak seperti saat aku dengan Renata –sepertinya penyakitku sudah sangat akut. Aku takut bila nantinya aku pun tak tahan dengan hubunganku dan Lia, aku takut akan semakin menyakitinya bila ini benar-benar gagal.
Seharusnya dia sudah berada di kantorku sejak setengah jam lalu, tapi sampai sekarang dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Pekerjaan yang menumpuk ditambah rasa kesal karena Lia tak kunjung muncul membuatku ingin marah-marah.
“permisi.” Ucap seseorang dari arah pintu.
“masuk.” Jawabku tanpa perlu melihatnya, sebulan selalu bersamanya dan mendengarkan suaranya membuatku hafal kalau suara takut-takut di pintu itu milik Lia.
“dari mana kamu? Seharusnya kamu sudah ada di kantor sejak setengah jam yang lalu.” Ujarku ketus, aku sudah bilang kan kalau sangat kesal hari ini.
“ma maaf pak, saya tadi terjebak macet.” Jawabnya dengan suara bergetar.
“alasan klasik, semua orang di sini punya masalah dengan macet, tapi mereka bisa mengatasinya. Itu pinter-pinternya kamu aja ngatur waktu.” Ketusku lagi.
“maaf pak.” Jawabnya dengan suara yang berubah seperti akan menangis, aku merasa bersalah mendengar perubahan suaranya, tapi tetap saja aku merasa kesal.
“maaf, maaf saja dari tadi. Sekarang mendingan kamu balik ke me-.” Aku menghentikan kalimatku saat memandangnya, astaga penampilannya jadi seperti orang yang habis lari marathon, peluh bercucuran dari dahi dan lehernya dan rambutnya juga sedikit acak-acakan. Apa dia lari ke sini tadi? Tanyaku dalam hati.
“ehm.” Aku berdehem untuk menormalkan suaraku yang sempat hilang.
“mendingan kamu langsung ke meja kamu.” Ujarku sambil menunjuk meja yang ada di pojok ruangan, meja itu masih kosong hanya ada telepon di atasnya. Aku pun belum tau Lia akan bekerja sebagai apa di sini karena jujur perusahaanku masih belum butuh staff baru. Mungkin aku akan membiarkannya duduk manis di pojokan untuk menemani hari-hariku yang seringnya membosankan ini, hehe.
Lia duduk dengan gelisah di mejanya, memandangku dengan tatapan penuh tanya saat aku sedang berbicara dengan Ratri –sekertaris resmiku.
“umm, pak saya mau ke toilet sebentar.” Ujarnya ragu-ragu seperti takut kepadaku.
“pakai toilet di ruangan ini saja.” Perintahku datar, kenapa harus menggunakan toilet yang ada di luar kalau di sini juga ada, benar kan?.
“umm, saya pakai toilet karyawan saja. Permisi.” Ujarnya langsung meninggalkanku yang hampir menahannya.
Oke, ini terlalu lama untuk pergi ke toilet. Lia hampir menghabiskan lebih dari satu jam hanya untuk ke toilet. Bahkan aku dan Ratri bisa menyelesaikan sebuah permasalahan, apakah dia tidak tahu jalan kembali ke ruanganku? Ah, memangnya umur berapa dia? 3 tahun? Aku semakin gusar menanti Lia, sampai tanpa sadar aku mengacak rambutku sendiri.
“aku kira kamu pingsan di kamar mandi.” Ujarku saat medengar seseorang membuka pintu ruanganku dengan sangat hati-hati.
“tadi nyasar nyari toiletnya.” Jawabnya cuek.
“kan udah aku bilang pake toilet di sini aja.” Ucapku geram, beneran deh sebenarnya orang macam apa dia ini bisa-bisanya nyasar di kantor yang bahkan toiletnya ada di tiap lantai dan jalurnya pun tak sesulit jalur perumahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Cup of Tea
Romancewe're perfect each other, cos you're my cup of tea.