New Life, Our Life.

65.1K 2.7K 42
                                    

Tomas pov

Aaarrrggghh!! Kenapa bisa ada makhluk seperti manusia ini? Aku melirik sebal ke arah Lia, ini pertama kalinya dia menunjukkan sifat buruknya, keras kepala sekali. Nggak tau apa kalo dari tadi aku udah khawatir banget karena dia belum makan? Tapi sepertinya dia ini sejenis wonder woman atau Xena, kenapa? Karena dia kuat menahan lapar dari pagi, oke mungkin kita biasa menahan lapar saat sedang puasa, tapi ini berbeda. Aku kagum sama kuatnya Lia nahan laper, padahal aku yakin energinya terkuras habis untuk menangis dan kegiatan emosional lainnya.

“kalo gini terus, bisa-bisa Ara sama kamu bareng-bareng masuk rumah sakit. Bedanya kalo Ara lebih elit alasan masuk rumah sakitnya, kalo kamu sama sekali nggak elit.” Sinisku, sedetik kemudian dia menatapku dengan tatapan garang yang menyeramkan.

“buka mulut.” Paksaku tanpa memperdulikan tatapannya. Aku rasa rekor makan bubur terlama di pegang oleh Lia, bayangkan saja semangkuk bubur ayam dihabiskannya dalam waktu hampir satu jam.

Kami kembali menunggu, Lia kembali termenung dengan air mata yang masih sering membanjir. Aku masih setia di sampingnya, merangkul pundaknya, dia masih saja cuek dengan keberadaanku. Padahalkan dia yang berobsesi menyembuhkan luka hatiku? Kenapa malah aku yang agresif gini ya?

“jangan nangis lagi, Ara nggak bakal kenapa-napa. Kecil-kecil begitu dia sama batunya kaya kamu.” Ucapku dengan pandangan lurus ke arah pintu ruang bersalin.

“kalo aja aku nggak cerita  tentang kita, Ara nggak akan ngelahirin secepat ini.” Ujarnya dengan suara lemah, aku terkejut lalu menoleh penuh minat padanya.

“aku ceritain semuanya sama Ara pagi ini.” Lanjutnya dengan air mata yang kembali jatuh. Aku mengusap mukaku dengan kudua telapak tanganku.

“dia ngelahirin bukan karena cerita kamu, emang udah waktunya. Sejak pagi dia udah mulai mules-mules kata Rafa, tapi dia emang nggak mau di ajakin ke rumah sakit malah ngajakin Rafa jalan-jalan.” Kataku pelan, karena aku banyak yang tersakiti, aku yakin Ara pasti sangat membenciku sekarang.

Kami kembali diam, memandang nanar pintu ruang bersalin yang sampai sekarang belum juga terbuka. Memikirkan nasibku setelah ini saja aku sedikit ngeri, kemungkinan di bunuh oleh Ara semakin mendekati 100%. Saat semua sedang harap-harap cemas menunggui prosesi kelahiran anak pertama Rafa, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari dalam, cukup keras. Semua yang ada di sini mengucapkan syukur tak terkecuali Lia yang kembali menangis dan langsung memelukku, terlihat jelas kelegaan di wajahnya.

Tak berapa lama, Ara langsung dipindahkan ke kamar rawat, kami semua mengikuti perawat yang membawa Ara.

“kamu nggak apa-apa?” tanyaku khawatir pada Lia, dia sempat hilang keseimbangan saat berdiri.

“nggak apa-apa.” Jawabnya pelan. Akhirnya aku terus merangkul Lia sampai di kamar rawat Ara.

“maakk.” Ara memanggil Lia yang sedang berada dalam pelukanku. Lia langsung berjalan mendekat dan seperti teletubbies mereka berpelukan, Lia menangis untuk yang entah keberapa kalinya hari ini. Sementara Lia mengucapkan entah apa –aku tak bisa mendengarnya, Ara terus saja memandangku sinis, tentu saja setelah ini nasibku akan dipertanyakan. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan ruangan itu dan bergabung dengan para lelaki di depan.

“Lia udah nyeritain semuanya ke Ara.” Ujarku pada Rafa yang baru saja selesai mengobrol dengan ayahnya.

“cerita tentang?” tanya Rafa bingung.

“gagal move on’nya guelah, apaan lagi?” jawabku ketus.

“trus?” tanyanya dengan alis yang bertautan.

“ya iyalah bini lo langsung sensi berat sama gue.” Jawabku cuek, tentu saja kami mengobrol pada posisi yang aman.

“bagus, lo emang pantes disensiin. Lagian lo juga kenapa sih nerima perjodohan ini kalo akhirnya lo nyakitin banyak orang?” ceramah Rafa padaku.

You're My Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang