Setelah acara pertunangan salah paham itu, Lia dan Tomas mulai melakukan misi mereka –lebih tepatnya misi Lia. Setiap senggang, Tomas akan mengajak Lia pergi berkencan. Nonton, ke taman hiburan atau Cuma putar-putar nggak jelas. Namun hubungan mereka bukannya semakin dekat malah semakin canggung, Tomas yang selalu membatasi dirinya dan terlihat kaku di depan Lia, sedangkan Lia malu untuk memulai duluan.
“Liana Mahya Ratifa.” Panggil seorang lelaki paruh baya dari atas podium.
Hatinya berbunga saat mendengar namanya dipanggil, akhirnya hari besar ini datang juga batinnya senang, dia telah resmi menyandang gelar SE. Lia berjalan dengan sangat anggun menuju podium, senyum manisnya tak luntur barang sedetik, kini ia berdiri di atas podium menyampaikan beberapa kalimat sebagai mahasiswi ekonomi dengan hasil terbaik, IPK 4,00 berhasil diraihnya meninggalkan sahabatnya, Ara dengan selisih nilai 0,2 poin.
“alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT karena ijinNYAlah hari ini saya bisa berdiri di atas podium ini, tak lupa terima kasih kepada kedua orang tua saya, ayah bunda, tanpa do’a kalian Lia nggak akan bisa mendapat prestasi yang sedemikian rupa, untuk kakak saya yang selalu menyemangati saya dengan cara-cara uniknya ‘i love you bro’.” Ucap Lia penuh haru, tak peduli para peserta wisuda hari ini sedang riuh tertawa karena kalimat cinta untuk kakaknya barusan.
“untuk teman-teman saya, Ara, Fai, Bagas, Anton dan teman-teman sekelas yang sudah mau repot-repot membantu saya disaat saya sedang butuh, ibu kantin yang selalu setia menyediakan asupan nutrisi untuk kami semua, terima kasih atas jasa-jasa kalian, saya sampai bingung mau bicara apa lagi, hehe. Dan tentunya kepada para pengajar, yang telah mendidik dan membimbing kami selama hampi 4 tahun terakhir, terima kasih sebanyak-banyaknya. Kepada bapak Rusdi dan bapak Raka selaku dosen pembimbing saya selama skripsi, terima kasih dan maaf telah merepotkan bapak selama 5 bulan terakhir.” Ucap Lia menutup pidatonya, air mata haru menyembul di ujung mata, pidato menawan yang telah disiapkannya seminggu terakhir buyar begitu saja saat dia berdiri di atas podium.
Acara wisuda hari ini sangat mengharu biru, satu per satu mahasiswa yang mewakili fakultas masing-masing menaiki podium menyalami bapak rektor dan jajarannya, menerima ijazah mereka dengan senyum mengembang. Tak ketinggalan Ara yang saat itu sedang mengandung 6 bulan, tubuhnya yang mungil kini mulai berisi, bajunya terlihat kedodoran dan hanya dia yang tidak menggunakan heels, wajahnya pun tak absen dari senyuman. Terlihat Rafa dengan setia menemani Ara dalam acara ini dan yang paling baru adalah Tomas juga ada di sana. Untuk apa? Tentu saja untuk menemani calon istrinya, Lia. Ini karena Ara yang memanas-manasi orang tua Lia untuk menjodohkan putri semata wayangnya itu, dan kenapa pilihannya Tomas? Entahlah, takdir? Karena tak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, maka jawaban itu masih menjadi jawaban terbaik.
Lia pov
Hari ini, emmhh, aku nggak tau kata apa yang tepat untuk mendeskripsikannya, bahagia? Tentu saja, apalagi dia juga ada di sana siang ini, memberiku sedikit senyuman saat aku sedang menyampaikan kalimat-kalimat berantakan di atas podium. Lelaki itu, lelaki pertama yang membuatku seperti ini, desperate.
“cieee, selamat ya nek.” Rafa menghambur memelukku saat aku turun dari podium. Bukan pelukan yang romantis karena rafa hanya menempelkan badannya satu detik.
“heeehh, apaan lo peluk-peluk sembarangan, bini lo noh perhatiin, pokoknya kalo ada apa-apa sama calon ponakan gue, lo orang pertama yang gue cari.” ancamku ganas, hahaha. Sudah beberapa bulan ini aku sensi pada Rafa, entahlah, padahal yang hamil Ara.
“idih, kenapa situ marah-marah mulu sih, sehari aja jangan ngomel-ngomel napa, gue jadi kasian sama anak gue ntar kalo punya tante doyan ngomel kaya lo.” cibir Rafa tak mau kalah.
“gue bukan ngomel tau, gue Cuma khawatir sama calon ponakan gue” balasku tak terima.
“oke oke, sekarang minggir, gue mau menyambut istri tercinta.” jawab Rafa sambil menyingkirkan tubuhku ke arah Tomas, aku yang terkejut hilang keseimbangan dan menubruk Tomas, untung saja Tomas sigap menangkap tubuh mungilku sehingga aku tidak tersungkur ke tanah, dasar om om sialan! Makiku dalam hati, tapi kenapa aku jadi deg-degan gini ya di pegang Tomas.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Cup of Tea
Romancewe're perfect each other, cos you're my cup of tea.