Chapter 02 : Lubang Gelap

101 10 0
                                    

"Aruna, apa kau marah padaku?" teriak Kana, aku mempercepat langkah kakiku. Terdengar seperti Kana mengikuti jejakku dan langkah kakinya terdengar semakin dekat.

GUBRRAAKKK...

"Aaaaaa, Aruna masihkah kau disana?"

Suara yang sangat keras itu mampu menghentikan langkah kakiku. Bukan, lebih tepatnya karena aku mendengar namaku dipanggil untuk yang kesekian kalinya.

Tak ada suara langkah kaki yang mengikuti lagi, apa dia berhenti? Apa dia berhenti karena aku juga berhenti?
Rasa penasaranku memaksa diriku untuk menoleh ke belakang, "Kana?"

"Kana?" Tidak ada?
Nee, yang benar saja? Apa dia mengalami MKKB Syndrome? Kenapa harus sembunyi?

Ketika aku mencoba melangkahkan kaki kembali, itu terjadi lagi, dia meneriakkan namaku, "Aruna!! Kau dengar? Bisa kau bantu aku?"
"ARUNA!!" Kali ini suaranya makin lantang.

"Aru-"
"Diamlah aku sudah ada disini untuk apa kau teriak lagi?" Pantas sajalah Kana terus saja berteriak, kini aku tahu sebabnya.

"Kau tidak marah padaku bukan?"
Aku hanya diam.
"Bisakah kau menolongku? Jalan ini, kau tahu kan kalau jalan ini jarang dilewati orang?"
"Lantas?" sahutku singkat.
"Baiklah, pertama aku akan minta maaf padamu meskipun aku tidak tahu apa kesalahanku."
Aku hanya diam kembali.
"Aku minta maaf padamu, Aruna."
Mendengarnya berkata dengan nada memohon membuatku tertawa kecil.

"Oh, kau tertawa. Harusnya kau lebih sering tertawa seperti itu, itu membuatmu lebih terlihat manis."
Senyumku hilang seketika, rasanya aneh ketika ada seorang laki - laki yang menyebutku manis padahal dia tidak tahu yang sebenarnya.

"Kau, mau kutolong atau kau mau menghabiskan hari berikutnya di lubang ini?" tawarku padanya menuju ke inti pembicaraan berhubung gelap mulai datang menghampiri.

"Tentu saja itu salah satu tujuanku meneriaki namamu." Kana menjawab sambil tersenyum padaku.
Bisa - bisanya dia tersenyum padahal keadaannya sendiripun bahkan sedang tidak memungkinkan untuk tersenyum selepas itu.

"Aruna, aku tahu tanganmu tidak begitu panjang tapi maukah kau mengulurkannya padaku sekarang? Bukankah hari sudah mulai gelap?"

Benar juga apa kata Kana, ini bisa membuatku terlambat untuk makan malam.
Aku mencoba mengulurkan tanganku yang katanya dan memang nyatanya tidak begitu panjang.

"Ulurkan lagi!"
"Aku sedang mencoba."
"Sedikit lagi."

"Akhirnya dapat juga." Aku berhasil meraihnya.
"Apa kau kuat menahanku sampai ke atas?"
"Akan kucoba, sebaiknya kau cepat naik!"

"Baiklah aku akan naik setelah hitungan ketiga, kau siap?"
Aku menganggukkan kepala.
"Aku mulai menghitung."
"Baik."
"Satu, dua, tiga-"
"KYAAA.."

BRRUUKKK...

"Kenapa jadi begini?"
"Sudah kuduga kau tidak mampu menahanku sampai ke atas."
"Kau sangat berat."
"Tidak, kau yang tidak cukup kuat, Aru."
"Kalau kau ringan aku tidak akan ikut terjebak dalam lubang ini bersamamu!"
"Kalau kau lebih kuat menahanku itu tidak akan terjadi!"
"Itu salahmu, kalau kau tidak jatuh dalam lubang ini aku juga tidak akan ada di dalam lubang ini bersamamu!"

"Baiklah, hentikan! Aku tidak mau berdebat lagi denganmu. Sekarang bagaimana cara kita keluar dari sini, kau ada ide?"
"Mungkin berteriak akan mengundang perhatian orang yang lewat."
"Apa semua perempuan itu mengandalkan teriakan?"
"Apa itu penting sekarang ini?"
"Baiklah, maafkan aku."

"Halo, apa ada orang disana? Tolong kami."
"Adakah orang disana?"
"Siapapun, tolonglah kami."
"Tolong, kami terjebak dalam lubang."
"Tolong disini."

Seakan aku sudah berteriak ribuan kali dan ribian kali pula teriakanku serasa sia - sia.
Sepertinya memang tidak ada orang yang lewat jalan itu.

Aku hanya diam bingung apa yang harus kulakukan agar bisa keluar secepatnya. Aku melihat Kana mengintip jam tangannya.
"Sudah hampir pukul 8 malam. Apa kita masih bisa keluar hari ini."

Badanku serasa kaku, merinding karena dingin yang menyuntik daging, dan kakiku mulai lemas. Untunglah tidak ada rasa lapar yang menyerang, kalau rasa lapar tiba maka habislah sudah raga ini tanpa tenaga.

"Aru, wajahmu terlihat agak pucat. Apa kau sakit?"
"Tidak."
"Ponselku kehabisan daya baterai sejak di kelas tadi, bagaimana dengan milikmu, Aruna?"
"Aku bahkan lupa mengisi dayanya, dari semalam sudah habis."

"Gelap sekali. Andai ada sedikit saja penerangan." aku bergumam dalam hati.
"Ah, benar! Aku membawa senter, mari kita gunakan untuk membuat pesan SOS." Kana mulai melakukan aksinya membuat pesan SOS, itu ide yang bagus bila ada orang yang lewat, jika tidak itupun hanya akan menjadi usaha yang tanpa menghasilkan pula seperti teriakan - teriakan yang sebelumnya.

"Aruna, apa kau masih punya tenaga untuk berteriak sesekali? Sebenarnya aku tidak tega karena melihat wajahmu yang agak pucat itu tapi ini demi keselamatan kita."

Aku mencoba berteriak sesekali seperti apa yang diminta oleh Kana agar ketika ada orang yang lewat dia bisa menjadi sang kesatria malam bagi kami.

"Tolong!!"
"Kami terjebak di lubang jebakan."

5 menit kemudian ~

"Coba kau berteriak dan aku membuat pesan SOS lagi, kali ini kita lakukan bersama."

"Tolong, tolong, kami terjebak di dalam sini." Sementara itu Kana memainkan senter miliknya.

"KYYAAA.." ada sesuatu yang mengagetkan.
"Tidak perlu berteriak, aku akan menolong kalian." kata seorang lelaki paruh baya.
"Syukurlah, akhirnya kita bisa keluar dari sini, Kana!"

Lelaki itu berhasil menolongku dan Kana keluar dari lubang itu.
Dengan bantuan tali tambang yang diikat ke pohon ceri terdekat, kami berhasil naik.

"Kalian anak SMA?" tanya lelaki itu mungkin melihat seragam lusuh kami.
"Ya, SMA Kirin." jawab Kana, "Terimakasih anda telah membantu kami."
"Tidak perlu begitu karena itu salahku juga."
"Maksud anda?" tanyaku heran setelah mendengar pernyataannya.

"Tentang lubang itu, aku dan saudaraku yang membuatnya."
"Untuk apa anda membuatnya?" tanya Kana sepertinya bukan hanya aku yang penasaran.
"Lubang itu untuk menyimpan air saat musim panas dan kekeringan melanda, kalian tahu daerah ini sering kekeringan saat panas tiba."
Oh, begitu rupanya.

"Tapi mengapa kalian bisa jatuh kesana?"
"Panjang ceritanya, Paman." sahut Kana.
"Baiklah lebih baik sekarang kalian pulang saja, ini sudah malam." Paman itu pergi kearah yang berbeda di persimpangan jalan itu.

"Hari ini aku berhasil mendengar suaramu yang misterius." kata Kana kubiarkan dia bicara sendiri, "Suaramu bahkan lebih indah dari yang kukira, apa kau bisa menyanyi?"

Aku menghentikan langkah kakiku.
"Kurasa cukup sampai disini pembicaraannya, aku masuk dulu." ucapku pada Kana yang sedari tadi disepanjang perjalanan yerus saja mengoceh meskipun aku tidak mendengarkan ocehannya.

"Oh, jadi disini rumahmu? Kalau begitu masuklah."
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, kulihat sekilas Kana melambaikan tangan padaku tapi aku pura - pura saja tidak melihatnya.

"Tidur yang nyenyak, Aruna." bisiknya agak keras hingga akupun masih bisa mendengar suaranya.

Kana melakukan beberapa lompatan sambil tersenyum lebar dan masih saja melambai - lambaikan tangannya.

Aku akan menarik kalimatku yang kukira Kana itu orang yang pendiam karena ternyata dia tidak selendiam itu.

"Aku pulang."

Ting tong..

He? Malam - malam begini?
"Biar aku yang buka." Aku membuka pintu yang baru saja kututup.
Tidak ada siapapun. Lalu aku menutupnya pelan dan tidak sengaja melihat secarik kertas tergeletak di lantai.

Nomor ponsel?
Aku melihat ke arah jalan dan terlihat punggung Kana yang belum terlalu jauh namun semakin menjauh.
Dilihat dari bahasa gerak tubuhnya dia tergolong orang yang selalu ceria.

Bersambung...

"Waahh, jadi dia murid pindahan di kelas 2 - 2?"
"Bukankah aku sudah memberimu nomor ponselku?"
"Lalu?"
"Namanya Kana Giskey?"

Jangan lupa untuk selalu vote and comment yah

Plain [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang