"Kleya. Karena aku sudah menurutimu untuk menandatangani perjanjian itu, kau harus berjanji satu hal padaku!"
"Apa itu?"
"..."
"Baiklah, aku berjanji padamu."
***
"Ini sudah satu minggu dan mereka belum ada tanda - tanda yang pasti tentang keadaan mereka."
"Kami juga tidak bisa memastikan kapan mereka akan bangun, Bu."
"Bibi, Aruna sudah sadar." teriak Kana kepada bibi yang sedang berada di ruang dokter.
Mereka berlari menuju ruang dimana aku dirawat, begitu juga dokter yang menanganinya berlari bersama mereka, siap untuk memeriksa keadaanku.
Gagang pintu diputar dengan yakin oleh Kana yang dengan harapan bahwa yang kabarkannya itu sungguhan.
Sesaat setelah pintu terbuka, terdengar keras napas dari orang - orang yang berlari untukku.
Aku hanyalah seorang wanita biasa yang duduk di atas ranjang. Mengenakan piyama dan menatap lemas ke luar jendela.
Hampir seminggu setelah kejadian itu dan ditambah dengan 24 jam pembangkitan.
Ah, jadi begini rasanya dapat melihat sinar mentari lagi. Aku sampai lupa bagaimana rasanya.
Kulihat dengan jelas beberapa orang menyergap masuk ke ruanganku berada. "Kami akan periksa lebih dulu."
Wajah bibi yang begitu cemas membuatku berpikir ini adalah keputusan yang tepat.
"Dia sudah baik - baik saja saat ini. Hanya perlu sedikit waktu lebih lama lagi untuk pemulihan. Dan semoga telinganya akan baik - baik saja." lapor dokter usai memeriksa keadaanku kepada semua orang yang menanti.
"Apa maksudnya?" tanya bibi.
"Sepertinya Aruna akan mengalami sedikit gangguan dengan pendengarannya. Tapi kerusakan itu tidak parah, jadi kurasa tidak masalah untuk saat ini."
"Tidak masalah?" tanya lagi bibiku sepertinya mulai agak emosi.
"Maksudnya, dia harus konsentrasi untuk memulihkan diri dari bekas operasi. Setelah dia sembuh barulah kita atasi bersama masalah pendengarannya. Untuk lebih jelasnya silahkan Ibu ikut ke ruang dokter."
Jadi benar kata malaikat pencabut nyawa kalau aku jadi tuli setelah bangun dari kematian.
Sebagian besar dari mereka keluar dari ruagan hingga hanya menyisakan seorang saja bersamaku, Kana.
Dia mulai mendekat padaku, selangkah demi selangkah namun dengan pasti dia tersenyum terlihat lega, mungkin.
Namun terdapat sesuatu yang tersembunyi darinya. Mungkinkah dia merasa kasihan padaku?
"Aru, hey, bagaimana perasaanmu?"
Aku terus terdiam.
"Aruna, kenapa diam saja?"
Aku masih terdiam.
"Aruna, apa jangan-jangan kau- Kau bisa mendengarku bukan?"
Terdengar suara Kana yang memancingku untuk menjawabnya. Dan aku masih dalam diam.
Kana mendekat dan duduk di bangku sebelah ranjang tempatku berbaring pasca diperiksa oleh dokter.
Kudengar dia mendengus menundukkan kepalanya sambil mengepalkan kedua tangannya yang berada di tepi ranjangku.
Aku perlahan memegang kedua tangannya yang begitu kaku dan membatu, "Aku mendengar semuanya. Aku baik-baik saja kau tidak perlu khawatir."
Dia menegakkan kepalanya, "Syukurlah. Kupikir akan terjadi sesuatu yang buruk padamu karena ulahku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Teen FictionSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...