Ruang Keamanan
Cklek..cklek..
"Ah, jadi sudah sampai seperti itu." Kedua sudut bibirnya mulai terangkat dan matanya menatap tajam, "Aku akan jadi penonton hari ini."
Dia menatap monitor itu dengan penuh kegembiraan. Dengan teliti ia amati setiap pergerakan tertera dalam layar.
Tara melepas lengannya dan beralih mencengkram kerah baju.
Tara memperkuat cengkramannya dan melempar ke arah pintu yang telah dikunci itu.
Bbraaakk...
Sepertinya terbentur kepala gagang pintu toilet yang lumayan kokoh.
Plakk...
Tara mendekat menampar pipi kiri dengan penuh kekuatannya
"Hmm, si Tara itu, dia lumayan juga." Dia bergumam lirih, "Baiknya aku manfaatkan lebih dulu sebelum kusingkirkan."
Tiba-tiba saja kamera yang ia sembunyikan dalam toilet itu merekam sesuatu.
"Cih, kenapa dia selalu datang di saat seperti ini?"
"Sial, kalau begini aku harus ke sana. Tapi tidak masalah ini berarti si Tara itu akan lebih ganas di kemudian hari."
Dia mengeluarkan rekaman itu dan mengunci kembali ruang keamanan.
***
Brraakkkk...
"Apa yang kalian lakukan?" teriak Kana membentak Tara, Elis, juga Ersa. Mungkin juga bentakan itu ditujukan sekaligus untukku.
Tara buru-buru menjauh dariku dan menyembunyikan pisau yang ditodongkan padaku.
"Kami hanya melakukan perkenalan." bela Elis.
"Perkenalan macam apa ini?" Kana hendak membantuku berdiri.
"Jangan sentuh dia!" jerit Tara mengagetkanku, "Aku tidak ingin melihat kau menolongnya."
"Apa? Dia butuh pertolongan dariku dan kau melarangku untuk membantunya padahal semua ini karena ulahmu." Kana terus mencoba membantuku berdiri dari lantai.
"Kana, kau benar-benar tidak mendengarkanku. Akan kubuat kau menyesalinya."
"Kalian yang akan menyesal. Karena perbuatan kalian ini, aku pastikan kalian akan menyesali apa yang telah kalian perbuat hari ini."
"Kau yang akan menyesal karena sudah menolong perempuan bisu itu." teriak Tara terlihat dipenuhi dengan amarah wajahnya.
"Tutup mulutmu! Ah, ini sudah kalian rencanakan, bukan? Jangan-jangan kalian juga yang membuat Aruna terkunci dalam gudang tadi?"
"Tega benar kau menuduh kami, kau membuat kami seolah menjadi penjahat abadi." oceh Elis tersulut amarah juga.
"Kana, jangan menuduh sembarangan! Pintu gudang itu sepertinya tetutup karena angin." ucapku berusaha menengahi perselisihan di antara mereka.
"Hei bisu! Kau senang karena Kana membelamu, bukan? Tidak perlu sok baik di depan kami, kau berusaha membela kami di depan Kana untuk memenangkan hatinya, bukan?" Ersa melotot ke arahku.
"Tidak, bukan seperti itu."
"Tidak usah mengelak, kami sudah tahu."
"Aru, lebih baik kita pergi dari sini. Melihat mereka berbuat yang tidak-tidak padamu membuatku mual." Kana menarikku dengan cepat keluar dari toilet itu.
"Si Bisu keparat! Lihat saja nanti. Aku akan sungguh-sungguh untuk melenyapkanmu." Tara mengepalkan tinjunya yang tak dilayangkan pada siapapun namun aku tahu itu ditujukan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Dla nastolatkówSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...