"Jadi kita berempat bisa pergi bersama. Kau dengan Selia dan aku bersama Aruna."
"Baiklah, aku akan pergi denganmu, Glare." ucapku.
Tiba - tiba saja aku mengucapkan kalimat itu, kalimat yang cukup berisiko. Apapun pilihanku pasti akan membuat pihak tertentu merasa kecewa.
Tetapi bukankah aku memang harus memilih?
Melihat tidak sepenuhnya dari kami merasa gembira, membuatku tidak ingin memilih lagi.
"Akhirnya aku bisa pergi denganmu, Aruna." ungkap Glary, "Mau kuantar pulang?"
"Tidak perlu." jawabku singkat.
"Baiklah aku akan menjemputmu saatnya besok."
Glary pergi menuju arah biasanya ia pulang.
Dan seperti kehendakku, kali ini aku bisa pulang sendiri, setidaknya aku bisa berpikir apa kesalahan yang telah kuperbuat selama sehari ini.
Selangkah demi selangkah, dengan santai aku menuju apa yang yang orang - orang sebut benda itu sebagai "Rumah".
Namun sepertinya dugaanku salah setelah melihat apa yang ada di balik pohon ceri itu, "Kana?" gemaku dalam hati
Dia semakin mendekat, wajahnya yang hanya tersinari oleh lampu jalan yang remang - remang seolah mengatakan bahwa aku sudah berbuat salah padanya.
"Mengapa kau tidak pernah adil padaku, Aru?" tanyanya lembut, kini emosinya sudah redam, sepertinya.
"Aku tidak mengerti."
"Kenapa kau memutuskan dengan Glary?" Kana mulai mengintrogasiku sepertinya.
"Kurasa itu bukanlah sebuah masalah karena kita semua mungkin sesuatu yang disebut teman." Penjelasanku setelah kusadari seakan aku meminta maaf pada Kana.
"Lalu?" tanya Kana kesekian kali.
"Aku juga harus memikirkan Selia yang memang ingin pergi denganmu. Dengan aku pergi bersama Glary maka keinginan Selia akan terwujud."
"Baiklah, aku mengerti." Tiba - tiba saja dia tersenyum dan entah mengapa aku jadi lega melihatnya.
Akhirnya dia yang mengantarku pulang, katanya tidaklah baik perempuan pulang sendiri malam - malam begini.
Padahal kurasa itu bukanlah suatu masalah karena toh tidak akan ada yang mengomeliku dan juga tidak ada pula seseorang yang menunggu kepulanganku di rumah.
"Bagaimana bisa kau emosi pada Tara padahal kalian belum pernah bercakap sebelumnya? Itu setahuku." tanyaku penasaran apa yang terjadi di lorong kelas tiga.
"Kurasa aku cukup popular." jawabnya sembari melirikku, kulihat juga seulas senyum yang ringan menyertainya.
"Apa maksud perkataanmu?" Aku menyipitkan mataku, terlihat wajahnya yang melegakan.
"Kurasa dia mengikutiku sampai pada akhirnya aku sendirian dan berhenti di lorong itu karena aku tahu dia mengikutiku." Senyum kembali bersama penjelasannya.
"Oh, begitu." Singkat tak lain supaya dia tidak berpikir macam - macam terhadapku, seperti menuduhku perhatian padanya mungkin. Uh.
"Kau, akhirnya mulai perhatian juga padaku."
"Apa? Tidak, bukan begitu." Aku coba menjelaskan.
"Sudahlah, begitu sudah bagus. Aku berjanji akan kubuat kau semakin memperhatikanku, Aru."
"Astaga, dia bicara apa lagi. Perkataannya itu ada - ada saja."
"Atau jangan - jangan kau menyesali karena memutuskan untuk tidak pergi bersamaku?" goda Kana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Teen FictionSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...