Apakah sudah pagi?
Bukankah ini masih malam?
Ataukah aku hanya terbangun dari tidurku yang panjang?
Semuanya warna putih dan beberapa berwarna biru muda.
Aku ada di mana?
Apakah...
aku ada di awan?
Aku masih bermimpi?
"Kau sudah bangun."
"Kau siapa?"
"Benarkah namamu Ginta?"
"Bagaimana kau bisa tahu namaku?"
"Aku tahu semua tentangmu dan apa yang kau lakukan selama ini."
"Apa aku sudah mati? Kurasa aku mengalami kecelakaan kecil belum lama ini."
"Lebih tepatnya kecelakaan mobil yang cukup untuk membunuhmu. Dan sebentar lagi kau akan mati."
"Jadi aku belum mati?"
"Belum. Tapi itu akan segera."
"Jadi kau itu arwah kalau begitu?"
"Aku sudah mati sejak tiga puluh tahun yang lalu."
"Tapi kau masih terlihat sangat muda, mungkin setahun lebih tua dariku."
"Arwah orang yang sudah mati tidak bertambah tua."
"Oh jadi begitu. Jadi untuk apa kau menemuiku? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Aku bertugas."
"Maaf?"
"Ini tugasku untuk menjemput arwah dan memberi pengertian kepada mereka bahwa mereka sudah mati."
"Jadi, kau itu seperti malaikat pencabut nyawa?"
"Oh tidak juga sebenarnya."
"Lalu?"
"Mungkin sebenarnya sama saja dengan malaikat pencabut nyawa tapi aku tidak suka disebut seperti itu."
"Kenapa kau melakoninya bila tidak suka."
"Aku suka menjalankan tugasku tapi aku tidak suka sebutan itu."
"Kenapa? Menurutku itu keren."
"Itu terdengar sedikit kejam. Aku tidak pernah sekejam itu mengambil arwah orang."
"Jadi maksudmu aku segera mati adalah setelah kita selesai berbincang kau akan menuntun arwahku?"
"Tidak secepat itu. Apa kau ingin cepat - cepat mati?"
"Kalau kau tahu semua kisah hidupku maka aku tidak perlu menjelaskan lagi bahwa kalau aku tidak pernah mendapat kasih sayang dan jika begini terus kurasa lebih baik aku segera mati saja."
"Kau pernah mendapatkannya dulu. Apa kau lupa?" Senyuman malaikat maut itu mengingatkanku pada kisah masa kecilku.
"Tapi bagaimana dengan saudariku? Kenapa kau mengambilnya sebelum dia dapat kebahagiaan?"
"Dia juga sudah mendapatkannya di saat - saat terakhir meskipun itu palsu."
"Apa? Kau, kejam sekali."
"Jangan salah paham. Lebih baik kau bicara saja sendiri dengan dia. Saudaramu ingin bertemu. Dia sudah menunggu sangat lama selama ini."
"Saudara? Saudara kembarku?" Dia mengangguk.
"Saudariku." Suara itu sangat mirip dengan suaraku. Mataku terbelalak mencari - cari dan hatiku tergetar. Di mana sumber suara itu?
Tiba - tiba terlihat seorang yang datang dari balik orang yang berbicara denganku dsri tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Teen FictionSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...