Dia terlihat semakin jelas siapakah dirinya.
"Aruna, aku menunggumu."
Ternyata Selia. Sejak dia mengajakku makan siang, Selia semakin sering berbicara kepadaku.
"Aku akan menunggumu saat jam empat sore nanti di taman belakang sekolah." Tanpa sepatah kata lagi Selia pergi, menghilang dari pandangan.
"Padahal aku baru saja dari sana." gumamku dalam hati.
Akupun juga segera menuju ruang kelas. Pasti aku akan disalahkan karena pergi terlalu lama. Apakah aku akan mendapatkan tugas tambahan dari Glary karena ini? Oh -
"Kau sudah selesai membersihkannya?" Sebuah frekuensi menjemputku di ambang pintu ruang kelas. Secuil senyumnya membuat kekhawatiranku mengenai tugas tambahan sirna sekejap.
"Aku senang kini kau mulai bicara pada orang lain." bisiknya dekat telingaku. Mengejutkan.
Secara alamiah aku merasa bingung, canggung, dan senang dalam sekali rasa.
Melakukan dekorasi adalah hal yang menyusahkan dan melelahkan. Namun karena ini adalah tugas yang ada dalam kesanggupanku, aku harus menyelesaikannya - secepat mungkin.
Aku berjalan membawa kotak berisi banyak kertas sisa dengan penuh warna dan bentuk yang tidak jelas. Berjalan di lorong dengan dipenuhi suara canda tawa dari para penghuni kelas yang lain juga menuruni tangga akses satu - satunya penghubung lantai bawah dengan lantai atas. Aku menaruh kotak yang kubawa pula isinya di samping tempat sampah di bawah tangga.
Secara terlintas nampak taman belakang. Teringat oleh Selia tadi siang yang wajahnya sangat serius bicara padaku. Kupandang jam yang melekat di pergelangan tanganku. "Hampir pukul empat sore." Tapi masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan untuk menyiapkan dekorasi festival yang diselenggarakan empat hari lagi.
Bukankah membosankan menunggu sesorang datang seorang diri. Aku sering merasakannya dan mungkin sebaiknya aku tidak membuat orang lain merasakannya juga karena menunggu orang yang dianggap bisu sepertiku.
Perlahan aku mendekati tempat yang dimaksudkan Selia. Terlihat seorang duduk di bangku itu seorang diri. Seorang yang setiap hari kulihat. Yang terlihat sangat familiar dan sangat mudah dikenali. Selia sudah ada di tempat itu.
"Kau datang?" Selia meliat kearahku.
"Bukankah itu yang kau mau?" Aku masih belum pandai berbicara kepada orang lain. Masih juga belum mengerti cara berhadapan dan berbincang dengan orang lain, "Bicaralah karena masih banyak yang mesti kukerjakan."
"Aku ingin bertanya kepadamu. Apakah Kana mengajakmu pergi dengannya?"
Bagaimana dia bisa tahu?
"Ya, dia mengatakannya tepat sebelum kau bertemu denganku di tangga."
"Apa kau menerima ajakannya?"
Apa yang sebenarnya ingin dia katakan?
"Tentu saja tidak."
"Begini, sebenarnya aku ingin pergi bersama Kana tapi tiba - tiba saja kakakku mengajakku pergi. Kau tahu kan padahal ada Tara yang bisa dia ajak di acara itu. Kita ini sudah lama berteman, bisakah kau bantu aku untuk berbicara dengan Tara untuk tetap pergi bersama Kak Danny?"
"Kenapa tidak kau bujuk saja Kak Danny? Bukankah kau itu adiknya?"
"Aku tidak berani. Dia mengajakku dengan wajah kesal, mungkin saja dia sedang bertengkar dengan Tara. Kumohon bantulah aku kali ini aku sangat butuh bantuanmu."
"Akan kupikirkan lagi. Aku harus kembali untuk menyiapkan dekorasi."
"Aku juga masih harus menyiapkan acaranya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Teen FictionSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...