Dengan cepat, aku berjalan menuju ke stasiun kereta. Di sepanjang jalan aku selalu berdoa agar dia nanti mau ikut pulang bersamaku.
Dia melakukan hal ini tiap tahun. Dan saat aku bertemu dengannya dia selalu pergi dalam sumber bahaya.
Aku tal bisa mengatasinya sendirian. Untungnya keluarga bibiku selalu ada di saat-saat seperti itu.
"Tunggu di sini, aku akan belikan tiket untuk kita." ucapku kepada Kana, entah mengapa terdengar berat. Apalagi sekarang ini yang ada di pikiranku hanyalah orang itu, orang yang biasa ana-anak lain sebut sebbagai "ibu".
Aku akhirnya membeli dua tiket. Kana nekat pergi denganku hanya karena khawatir saja. Dia meninggalkan acara puncak festival dan juga meninggalkan Selia berada di acara itu sendiri.
"Ini." Aku mengulurkan tiket milik Kana.
"Kita akan ke Tanjun?" Kana melihat heran kepadaku setelah dia membaca tiket keberangkatannya.
Aku tidak menjawabnya. Hanya mengedipkan kedua kelopak mataku di depan pandangannya.
"Apakah kau sering pergi ke Tanjun?" tanyanya dengan frekuensi suara yang berbeda dari cara bicara biasanya.
Mendengar nada bicaranya seperti itu membuatku penasaran apa yang akan dibicarakan oleh Kana.
"Tidak. Mungkin hanya dua kali dalam setahun." jawabku.
"Aku rindu sekali padanya. Sudah lama aku tidak berkunjung ke Tanjun."
"Rindu? Pada siapa? Apakah nenekmu tinggal di Tanjun?" tanyaku terpancing oleh perkataannya.
Dia menggelengkan kepalanya, "Adikku. Dia masih sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Tanjun."
Aku melihat dia mengepalkan tangannya.
"Apa kau punya adik?" Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Apa adikmu juga ada di Tanjun?" Aku mengangguk untuk kedua kalinya.
"Apa kau ke Tanjun untuk melihatnya?" Kali ini aku hanya terdiam.
"Apa kau mau menjenguk adikmu?" tawarku kepada Kana, "Kita bisa melihatnya dulu."
"Apa tidak apa-apa?" tanya Kana mungkin dia merasa sedikit tidak enak padaku.
"Hm." Aku mengangguk.
"Bagaimana denganmu? Untuk apa malam-malam seperti ini pergi ke Tanjun?" tanya Kana kini nada bicaranya sudah kembali.
"Aku juga ingin menjenguk adikku."
"Apa dia juga sakit?"
"Ya, seperti itulah. Sudah sepuluh tahun lamanya." jawabku sedikit menjelaskan pada Kana.
"Kita bisa kenalkan mereka berdua agar tidak kesepian di Tanjun."
"Um, kurasa adikku tidak bisa menemui adikmu, Kana."
"Kenapa?"
"Dia memang begitu."
Tak lama setelah itu kereta kami datang. Aku dan Kana segera berangkat ke Tanjun agar sampai di sana tidak terlalu larut malam.
"Kenapa kau meninggalkan adikmu di Tanjun?" tanyaku penasaran dengan orang yang sepertinya tipe orang penyayang.
"Aku tidak meninggalkannya. Dia yang meninggalkanku."
"Apa?"
"Namanya Kleya."
"Dia perempuan?"
"Hm, sejak kecil aku dan Kleya tinggal bersama nenekku di Tanjun. Karena kedua orang tuaku bekerja di luar negeri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Plain [HIATUS]
Teen FictionSepi adalah rasaku tiap hari. Polos tak berwarna adalah jalan hidupku. Dia datang dengan membawa warna yang terus ia bagikan kepadaku. Sampai - sampai pada hari itu, dia kehabisan cahanyanya. Padam, begitulah dia berhasil membuatku mengulang perasaa...