8 - The Feeling

325 17 2
                                    

Tears are words that need to be written. —Paulo Coelho.

• • •

Marel melamun.

Itu yang dari tadi dilakukannya. Membuat Marel beberapa kali di tegur oleh Pak Rahman—guru Biologi, karena tidak mendengarkan penjelasannya dan yang membuat Tasya ingin menjitak kepala Marel sambil mengatakan, "jangan sok pinter! Guru lagi jelasin." Tepat di depan wajah Marel.

Mengaduk-aduk jus mangga yang belum Marel sentuh sama sekali, ia malah terus-menerus menatap lapangan basket yang hanya ada beberapa siswa yang sedang bercanda di kursi penonton. Ia hari ini tidak membawa novel seperti biasanya, karena lupa. Ah, bukan. Marel sedang tidak fokus karena memikirkan perkataan Tasya kemarin. Yang membuat Marel menjadi bimbang sendiri.

Argan tiba-tiba berada di belakang Marel, dan mengagetkannya. Yang membuat Marel terkejut. Ia lalu langsung mendengus mendengar tawa jahat dari bibir Argan. Selesai dengan tawanya, Argan duduk di depan Marel.

"Lo kenapa?" tanya Argan sambil menopang dagu di meja kantin.

Marel menggeleng. "Gak apa-apa."

"Gak, apa-apa atau gak apa-apa? Soalnya kata Bu Titin—guru Bahasa Indonesia, dari konotasi pembicaraan yang ada jedanya walaupun cuma sebentar, pasti udah beda arti kalimatnya. Sensitif. Kaya bahasa Arab."

Marel hanya diam.

"Ah, gak di denger, ya? Yah," celetuk Argan, membuat Marel tersadar.

"Dengerin siiii," balas Marel dengan muka ngototnya.

"Iya aja dah, biar lo seneng."

"Biar apa?"

"Biar biur," canda Rama sambil memeletkan lidahnya.

"Lucu!"

"Ah, gak ikhlas, tuh. Gue pergi aja deh." kata Argan sambil mengambil ancang-ancang. Marel yang melihat itu langsung menggenggam tangan Argan erat. "Ih, kan cuma bercanda. Baper banget." balas Marel.

Argan yang melihat itu tersenyum, lalu kembali duduk. "Iya, iya. Paham canda doang. Gue juga cuma bercanda." ujar Argan sambil mengacak-acak rambut Marel. Membuat si empunya mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa gak ke kelas?" tanya Argan.

"Gak, lagi gak pingin," balas Marel sambil menyeruput jusnya.

"Eh, Marel sekarang bandel, ya? Di ajarin siapa sih?" tanya Argan sambil mencubit kedua pipi Marel yang tembam. Mereka terlihat seperti pasangan, padahal bukan itu kenyataannya.

Marel langsung memaksa melepaskan cubitan Argan, walaupun tidak kencang, tapi kan, tetap sakit. Hingga akhirnya Argan melepaskan cubitannya ketika muka Marel sudah semerah tomat.

"Ih, jahat! Kan sakit! Ah, males," gerutu Marel kesal.

Argan hanya tertawa. Kemudian ia diam beberapa detik setelahnya, karena di anggap tidak lucu dengan wajah Marel yang cemberut. "Jelek!"

Marel langsung mendelik, lantas memasang wajah jutek. "Ram, salah gak kalo gue suka sama orang?" tanya Marel setelah mereka diam selama beberapa menit.

"Gak, suka sama orang gak pernah salah. Waktu yang salah, karena datang di saat yang gak tepat." Kaya gue ke elo. Lanjut Argan dalam hati.

"Boleh gak cewek yang berjuang? Boleh cewek yang memulai? Boleh kita nyerah?"

Argan berdeham, kemudian menjawab, "kalo buat gue, gak ada kata cewek yang berjuang, kalo suka, dua-duanya harus berjuang. Kedua, boleh cewek mulai, asal jangan lebay. Ketiga, lo boleh nyerah di saat semuanya hanya di anggap angin lalu."

Marel terdiam.

"Jadi, lo gak boleh salah mengartikan semuanya. Inget pesen gue, don't trust too much, don't love too much, don't hope too much. Because that 'too much', can hurt you so much. Cinta boleh, tapi kalo logika lo udah kalah sama perasaan, itu namanya udah bukan cinta. Tapi bego," lanjut Argan membuat Marel terdiam dan berpikir.

× × ×

Tasya menatap Marel penuh minat. Sekarang, mereka sudah berada di Café sesuai janji Marel kemarin. Marel menatap Tasya bosan. "Gue pesen makan dulu, ya, Rel?"

Kan? Pasti gini. Batinnya mendengus, lalu Marel membalas dengan deheman.

"So, gimana?" tanya Tasya setelah memesan makanan.

Marel menyeruput ice capuccino-nya. "Waktu gue di Rumah Sakit, inget?" tanya Marel, dan Tasya mengangguk.

"Mario bilang, dia mau anter-jemput gue kemana-mana, awalnya gue seneng, sampe dia bilang kalo dia merasa bersalah banget karena buat gue sampe masuk Rumah Sakit, dan di situ gue sadar, kalo dia cuma pingin membuang rasa bersalahnya, lo tau? Gue malah seneng dia kaya gitu, Tas!

Terus dia bener-bener jemput gue, pas gue udah keluar dari Rumah Sakit, waktu si kelas, dia bikin gue terbang sama kata-katanya, yang dia anggap bercanda, tapi buat gue enggak. Begonya, gue anggap serius!" Marel menarik napas, air matanya sudah mengalir deras selama dia berbicara. Untung saja, mereka memilih tempat yang tidak banyak orang tahu.

Tasya langsung memeluk Marel sambil kembali mendengar cerita itu.

Dan sore itu, cuaca seakan ikut bersedih dengan meneteskan air yang semakin lama, semakin deras. Membuat Marel semakin terlarut bersama derasnya hujan.

× × ×

Farah berjalan menaiki tangga menuju kelas XII, untuk menghampiri Fanya.

"Kak Fanya! Bisa keluar sebentar?" tanya Farah dengan ragu saat melihat Fanya menatapnya tajam, namun tetap menghampirinya.

"Bisa nggak kalo ngomong sama kakak kelas yang sopan? Jangan kaya tadi, kesannya nyuruh," balas Fanya sinis sambil menyuruh Farah untuk mengikutinya menuju toilet perempuan.

Farah menghela napas, kemudian mengikuti Fanya.

Sampai di toilet perempuan, Fanya langsung menarik Farah masuk ke dalam dan mengunci toilet itu dari dalam.

"Jadi, ada apa?" tanya Fanya.

"M-maaf, Kak. Tapi kakak denger tentang Mario yang jem—"

"Gue tau," potong Fanya. "Terus, masalahnya apa?"

"Marel suka sama Mario, Kak."

Fanya mengernyit, lalu tertawa. "Adanya juga elo yang naksir sama Mario. Mau gaya apa nuduh orang? Lo siapa disini? Anak jendral? Gue tau gimana Marel. Karena dia—" Fanya menggantungkan kata-katanya. "—intinya, kalo gue tau lo nyakitin Marel pake bawa-bawa Mario gitu. Abis lo sama gue!"

Fanya langsung meninggalkan Farah yang merah padam—karena marah dengan menggebrak pintu toilet.

× × ×

Marel memeluk Adrel dengan erat, seraya menceritakan segalanya. Lalu Adrel mengelus puncak kepala kembarannya itu dengan sayang. Adrel membiarkan bajunya basah, hingga mendengar dengkuran halus dari Marel yang berarti ia sudah tidur. Mungkin karena lelah.

Adrel langsung menggendong meletakkan Marel di kasur Stitchnya. Lalu ia keluar dengan perasaan kecewa dan sedih melihat Marel seperti ini. Besok, Adrel tidak akan salah meninju orang karena tangisan Marel yang baru saja berhenti setelah menghabiskan waktu dua jam penuh hanya memeluk Marel untuk menenangkannya.

• • •

Hi! How about this part? Tau, pasti garing dan kaga ada yang bikin baper, kan? Maap keun, karena gue masih belajar. So, bawa enjoy aja ceritanya, ya.😉

See u next part!😉

R I Z K A A W P.

ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang