Bolehkah aku menjadikanmu sebagai matahari? Karena selain kamu menerangi diriku, kamu hanya bisa kulihat dari jauh.
•••
Mario melempar bola basket itu tanpa belas kasih. Ia kesal, marah, dan kecewa entah untuk apa. Yang jelas, kedekatan Marel dan Argan membuatnya hilang kontrol, dan itu sudah terjadi padanya akhir - akhir ini.
"Kamu kenapa, Bosku?" tanya Fathur yang sedari tadi sangat setia menemani Mario sembari memakan cheeps yang ia beli di supermarket dekat sekolah, karena kantin sudah tutup, dan hari sudah hampir menjelang malam.
Mario menghampiri Fathur dan merebut minum yang baru saja ingin ditenggak oleh Fathur.
"Bocah kampret!"
"Damat." ucap Mario cuek sambil menenggak minuman itu hingga tetesan terakhir dan melemparnya kembali ke Fathur.
"Sett dah, emang lo doang, emang. Udah gue temenin, gue dimarahin, minuman gue di abisin, kalo bukan sobat gue dari orok udah gue lempar lo dari rooftop sekolah. Sumpah!" curhat Fathur sebal.
"Lo kalo gak ikhlas nemenin gue, yaudah si tinggal pergi."
TAK!!
"Yo, lo tuh kalo lagi galau emang ngeselin banget, ya, sumpah."
"SIAPA YANG GALAU SI?!!"
Ingin rasanya Fathur meninju rahang Mario kali ini. Kalo gak galau, ngapain lemparin bola ke ring kaya lempar orang, saking semangatnya sampe ngancurin kaca kelas, karena meleset.
"Lah, kalo lo gak galau terus ngapain, tong? Gue tinggal juga lo, sana dah, biar rasa Marel di deketin Argan. Lo disini kaya orang bego."
Fathur doang emang, kalo nyeramahin temen, omongannya paling nyelekit, udah gitu pait.
"Lo tau darimana si, kalo gue suka sama Marel? Sotoy amat." desis Mario.
"Terus kalo gak suka, yaudah gak usah dendam gitu liat Argan deket sama Marel. Hubungannya sama lo apa? Lo siapanya, men!"
Mario terdiam mendengar ucapan Fathur yang sekali lagi nyelekit dan langsung masuk ke dalam ulu hatinya. "Terus gue harus apa?" tanyanya dengan putus asa.
"Kejar lah kalo lo suka dia, cewek gak bakal mungkin nembak cowok, kecuali dia dulu laki."
Setelah mengucapkan itu, Fathur meninggalkan Mario karena mendapat telpon dari sang Bunda—katanya penting, dan memutuskan untuk membiarkan Mario sendiri untuk berpikir.
× × ×
Sampai dirumah, Mario langsung mendapat jitakan pedas dari sang kakak—Marco.
"Eh, sakit, Setan!"
Tak!!
"Lo!" desis Mario sambil menatap tajam Marco.
"Apa? Lo ngapain jam segini baru balik. Nyokap nyariin lo, ditelpon gak diangkat, lo nyangkut dimana?"
"Apaan, sih, Co. Gue disekolah, ya! Gak kemana - mana. Ekskul." Okay, kali ini ekstrakurikuler menjadi bahan tipuannya.
Tak!!
Cukup, ini sudah ketiga kalinya Marco menjitak kepalanya. Dia tidak tahu apa, orang lagi pusing—atau galau lebih tepatnya.
"Et, lo rusuh amat. Awas apa, gue mau lewat." kata Mario sambil menggeser sang kakak yang badannya tidak beda jauh dengan dirinya. Karena sekesal apapun Mario, ia tidak akan melawan kakaknya. Mario sangat menghormati Marco sebagai kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imagination
Teen Fiction* * * Karena mengejar angan lebih sulit dibandingkan mengejar mimpi. Karena khayalan lebih rumit dibandingkan mimpi. Karena imajinasi belum tentu terjadi. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk berjuang. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk mera...