I'm sorry, if i hurt you.
•••
"Hai, Yah. Apa kabar? Maaf Marel ngunjungin Ayah disaat Marel lagi sedih kaya gini. Padahal Ayah larang Marel dengan keras buat nggak nangis, nggak jadi anak yang cengeng, tapi maaf Marel belom punya hati yang sekuat dan setegar Bunda. Marel belom bisa jadi anak yang bener."
Marel mengelus nisan sang Ayah dengan sayang, dan juga diselimuti rasa sedih. Ia tahu bukan ini yang Ayahnya mau, menangis di depan makamnya sama saja dengan menangis di depan sang Ayah.
Tasya yang melihat Marel seperti ini hanya bisa mengelus lengan Marel berkali - kali, sambil mengatakan bahwa Marel menjadi cengeng dan lebay. Berniat sedikit bercanda.
Marel mengusap air matanya, lalu mengambil napas dan membuangnya dengan tegas. "Gue harus move on! Ini udah kelewat batas, bahkan hati gue jadi susah buat ngontrolnya. Jadi gue harus pergi, Tas!" ucapnya sambil bangun dari duduknya setelah mencium nisan sang Ayah.
"E-eh, lo mau kemana?!"
"Ayo, Tas! Gue mau balik dan mau minta sesuatu sama nyokap."
"Mau ngapain?! Lo mau pergi kemana, sih? Ini bocah ya! Udah sekarang kerjaannya bolos mulu, sekarang kenapa jadi gini dah."
"MAU IKUT GAK, TAS?!" Teriakan Marel membuat Tasya menggerutu tidak jelas sambil mengejar Marel.
× × ×
Melinda tidak terkejut saat melihat surat panggilan dari SMA Antartika—yang berarti sekolahan Marel, bukan Adrel. Karena akhir - akhir ini Marel selalu pulang ke rumah sebelum jam pulang sekolah, bahkan 15 menit setelah berangkat sekolah pun, Marel balik lagi dan mengatakan bahwa ia sedang tidak enak badan. Alasan klasik.
Feeling seorang Ibu tidak pernah salah. Melinda diam bukan berarti ia menutup mata, ia tahu semua hal yang menimpa anak - anaknya. Namun, itu tidak akan membuat Melinda bertindak protektif. Karena nantinya, semua hal yang terjadi, akan membuat anak - anaknya sadar diri dan menjadi lebih dewasa.
Saat tengah menatap surat panggilan itu, Melinda mendengar suara pintu terbuka, dan ia tahu siapa itu.
"Bunda.." Suara Marel dari belakang langsung membuat Melinda menebak apa yang terjadi. Marel menangis, dan Marel memeluk dirinya.
"Kenapa sekarang anak bunda ini jadi sering bolos? Alesan apalagi yang kamu pake? Kakek masuk rumah sakit?"
"Ih, bunda..." rengek Marel di balik pelukannya.
Melinda berbalik dan memeluk Marel erat. Ia kemudian mendongak, dan melihat Tasya disana dengan senyuman canggung.
"Halo, tante!" sapa Tasya sambil menyengir.
Marel melepas pelukannya dan menengok ke arah Melinda. "Bun!"
Melinda hanya berdehem.
"Bunda!"
"Apa sih? Kamu ini, bawa temen bukannya bilang malah mewek nggak jelas sambil peluk - peluk bunda lagi. Basah, 'kan baju bunda jadinya!"
"Ish, bundaaaa! Marel tuh mau ngomong, kalo Marel mau pindah sekolah boleh apa nggak?"
Tiba - tiba suasana hening. Marel menunggu jawaban sang Bunda. Sementara Bunda dan Tasya melongo terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imagination
Fiksi Remaja* * * Karena mengejar angan lebih sulit dibandingkan mengejar mimpi. Karena khayalan lebih rumit dibandingkan mimpi. Karena imajinasi belum tentu terjadi. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk berjuang. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk mera...