Kadang hal yang paling indah adalah mengikhlaskan. Bukan karena tidak sayang, melainkan kita sadar ada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan.
•••
Marel memegang baju Argan erat. Seperti berat untuk melepaskan. Ia bahkan melupakan fakta bahwa akhir - akhir ini, ia sering membolos, dan itu tidak baik. Kemana Marel yang selalu dijadikan contoh oleh guru - guru? Kemana Marel yang selalu tersenyum? Kemana Marel yang selalu pintar menutupi perasaannya?
Jawabannya adalah pudar. Marel yang dulu mulai pudar, dan mungkin akan menghilang hanya karena satu cowok yang bahkan belum tentu melakukan hal yang sama untuknya.
"So, kalo lo udah tenang, lo bisa kok cerita sama gue," ucap Argan setelah pelukan mereka terlepas, dan ia mengusap air mata di pipi Marel.
Marel menggeleng. Ia bukan tidak mau, tapi lidahnya kelu. Membeku. Berat rasanya menjabarkan perasaan yang bahkan kita sendiri pun sulit mengartikannya.
Tapi Argan paham. Susah juga memang menceritakan sesuatu yang terlalu menyakitkan, walaupun itu bukan masa lalu. "Let me guess, Mario, kan?"
Marel mengangguk pelan.
"Anjing," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Rama..," panggil Marel. "G-gue m-minta to-tolong b-boleh?" lanjutnya tersedak - sedak.
"Apa?"
"Jangan bilang ini ke siapa pun. Adrel juga gak boleh tau kalo gue nangis. Apalagi karena Mario, cukup waktu itu aja. Gue tau lo berdua bonyok karena Adrel, 'kan? Jadi, gue gak mau ada apa - apa lagi. Gue gak mau Mario bonyok lagi. Cukup waktu itu aja.
Dan kayanya gue emang harus move on. Iya, 'kan? Gue butuh waktu, gue belom siap buat ngedepin Mario, tapi gue gak mungkin bolos mulu. Jadi kayanya gue emang harus pergi."
Entah pikiran darimana Marel tiba - tiba mengatakan hal yang bahkan nggak pernah terpikir, atau terlintas di otaknya. Ia ingin melarikan diri. Melarikan diri dari kenyataan. Kenyataan yang berkali - kali mencoba mengetuk hatinya untuk membuatnya sadar, namun baru kali ini berhasil menyadarkan Marel. Si cewek pintar yang dibodohi oleh ilusi semata. Imajinasi dan angan - angan yang tidak nyata.
"Jangan, Rel. Jangan ngaco kalo ngomong! Lo mau pergi kemana sih? Gue gak setuju," tolak Argan langsung.
Tanpa omongan lagi, Marel langsung meninggalkan Argan yang terdiam dengan kepalan tangan, tanpa berniat mengejar, dan juga Marel yang pergi tanpa berniat menjelaskan.
× × ×
Adrel kembali membolos. Bahkan dalam minggu ini, ia sudah memiliki tiga alfa di absennya. Luar biasa.
Tapi bukan tanpa alasan kali ini Adrel membolos. Hatinya tiba - tiba sesak, dan itu sangat menyiksa. Pikirannya mendadak kacau, tidak fokus.
Otaknya berputar pada Marel. Feeling-nya tidak pernah salah. Pasti ada apa - apa sama Marel, dan ia tahu harusnya ia pergi keluar dari sekolah lalu mengambil mobil dan menancap gas menuju sekolah Marel. Tanpa peduli bagaimana ia bisa masuk sekolah Marel nanti. Itu urusan belakangan, yang terpenting ia harus keluar dari gerbang sekolah terlebih dahulu.
Adrel mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengetik pesan di grup gila sahabatnya.
Lil Bori (4)
Mareleo Adrelio : guys, gue tunggu lo semua di depan antartika.
Read 3.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imagination
Teen Fiction* * * Karena mengejar angan lebih sulit dibandingkan mengejar mimpi. Karena khayalan lebih rumit dibandingkan mimpi. Karena imajinasi belum tentu terjadi. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk berjuang. Jadi cewek bukan berarti gak bisa untuk mera...