4.2 - CARA

68 8 0
                                    

Aku turut senang melihat Ley senang. Bukannya sombong, tapi keberhasilannya dalam ujian sebagian memang karena bantuanku. Tapi sungguh, sebenarnya sebagian lagi gara-gara usaha Ley sendiri. Jika sedang rajin, dia bisa betah belajar semalaman. Aku tahu itu karena pernah sekali dia meneleponku jam satu pagi hanya karena ingin menanyakan rumus matematika. Untung aku selalu tidur di atas jam dua pagi sehingga aku bisa memandu Ley belajar dari telepon.

Dan apa katanya tadi? Kencan? Aku mendengus. Lucu sekali. Aku tidak pernah "berkencan". Pacar saja tidak pernah punya. Tapi aku tidak sabar menunggu hari Sabtu nanti. Bukan karena aku ingin berkencan dengan Ley, tapi benar apa katanya tadi. Aku tidak pernah keluar rumah selain untuk ke sekolah dan lari pagi atau malam. Sesekali aku butuh udara segar dan sedikit hiburan bersama teman. Dan bicara soal teman, aku mendengus untuk yang kedua kalinya. Kurasa Ley adalah temanku satu-satunya sekarang.

----

00:00

Ini adalah lari pagi ter-pagi yang pernah kulakukan. Lebih tepatnya, lari subuh. Badanku rasanya lelah seharian duduk di sekolah dan otakku penat karena pulang-pulang harus mengerjakan PR esai sejarah yang banyaknya lima halaman bolak-balik.

Setelah melakukan sedikit stretching, aku mulai berlari pelan mengitari kompleks perumahan. Setelah dua putaran, seperti biasa aku merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat di bangku taman terdekat. Saat itulah aku melihat sosok pria dalam balutan hoodie dan celana pendek sedang merokok. Aku takut pria itu orang jahat sehingga aku mengurungkan niatku beristirahat dan buru-buru membalikkan badan, siap untuk berlari pulang.

"Kau kabur lagi."

Aku menoleh saat mendengar suara pria itu berseru dari kejauhan.

Apa dia bicara padaku?

Aku menoleh ke sekitarku untuk melihat apakah ada orang lain. Tapi tidak, kompleks perumahanku benar-benar sepi. Hanya ada aku dan pria yang sedang duduk di bangku taman itu.

"Ini aku, Ian." seru suara itu lagi.

Aku pun menghampirinya dan benar, Ian tersenyum padaku dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkanku untuk duduk. Aku pun menurut.

"Pantas aku tidak pernah melihatmu lari pagi lagi, ternyata kau lari saat subuh." ujar Ian masih sambil merokok.

"Ini hanya jika aku sedang penat." jawabku. Sebenarnya aku ingin bertanya apa yang sedang dilakukannya sendirian di sini selarut ini, tapi aku mengurungkan niat. Mungkin dia juga sedang penat? Jika caraku menghilangkan penat adalah dengan berlari, maka Ian dengan merokok.

Ian membuang rokoknya dan menginjaknya. "Rasanya aneh."

Aku hanya menoleh ke arahnya, tapi Ian tetap memandang lurus ke depan. Dia belum menatapku sama sekali kecuali saat aku menghampirinya tadi.

"Rasanya aneh kembali ngobrol denganmu seperti ini." lanjutnya.

Ya, aneh sekali. Aku jadi menyesali keputusanku menghampirinya. Kalau aku teruskan berlari, aku tidak harus berada di situasi canggung bersama Ian sekarang.

"Aku minta maaf." Ian akhirnya menatapku.

"Untuk apa?"

"Karena sudah menjauhimu, mengataimu aneh, dan karena.. demi Tuhan, aku minta maaf atas semua perilaku burukku terhadapmu."

Aku tersenyum sinis. "Bukankah sudah sedikit terlambat untuk itu?"

Ian diam saja.

"Aku tidak dendam padamu. Mau berteman denganku atau tidak kan pilihanmu. Aku hanya kecewa karena kau berubah menjadi orang seperti Candy. Orang yang mementingkan reputasi dan gengsi hingga meninggalkan teman sendiri. Atau jangan-jangan kau benci padaku?"

"Apa? Tentu saja tidak! Waktu itu aku terlalu muda dan.. egois. Hey dengar, kau ingat permainan yang selalu kita mainkan saat kecil?"

Aku mengangguk.

"Kau mau bermain sekarang?"

O-oh. Bukan ide bagus. Tapi aku rindu melakukan hal ini bersamanya. Jadi.. kenapa tidak? Nanti saat bangun aku bisa berpura-pura kejadian pagi hari ini adalah mimpi.

"Siapa yang mulai duluan?" tantangku.

----

Pretty ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang