"Lucy sudah tidak mau mengantarmu?" Aku menyindir Candy keesokan harinya saat gadis itu mengikutiku ke mobil usai sarapan.
Candy memutar bola matanya. "Mobil Lucy sedang di service di bengkel."
Tidak lama kemudian Ley datang menyapa kami. Bertepatan dengan itu, Ian keluar dari rumah. Aku memutuskan untuk tidak menyapanya dan langsung tancap gas. Aku masih kesal padanya.
"Cara, asal kau tahu, aku berubah pikiran. Aku akan berusaha mengajak Ian balikan." Celoteh Candy.
Aku hanya ber-"ohhh."
"Jadi sebaiknya kau jangan kecentilan. Kurasa Ley lebih cocok untukmu."
Apa-apaan? Bisa-bisanya Candy berkata seperti itu saat ada Ley di sini.
"Ley, kau suka Cara kan? Tolong jaga dia baik-baik, jangan sampai Ianku direbut dua kali."
Kalau saja ayah dan ibuku tidak akan memarahiku, sudah kuturunkan Candy di tengah jalan! Bikin malu saja!
Ley hanya menjawab dengan senyuman.
Kenapa Ley tidak berkomentar? Hh.. paling-paling dia sudah terbiasa dengan ocehan tidak masuk akal Candy. Aku jadi kasihan jika setiap pagi Ley harus mendengar ocehannya.
"Oh Ley, kau sudah tahu akan lanjut kuliah di mana?" Candy bertanya dengan suara cemprengnya.
"Belum, kau?"
"Aku akan masuk di kampus yang sama dengan Ian, tentu saja."
Bisa ditebak.
"Ley, kalau kau mau aku bisa mengajarimu lagi. Ujian akhir semakin dekat." Tawarku.
"Ya Ley, terima saja tawaran Cara. Lumayan, kalian bisa jadi tambah dekat." Candy mengedipkan mata pada Ley. Ewww.
Saat sampai di sekolah, Candy seperti biasa langsung meninggalkan kami menuju geng tukang gosipnya.
"Maaf ya Ley, jangan hiraukan omongan Candy."
"Tidak apa, dan yah aku memang butuh bantuan. Jadii, kurasa aku akan lebih sering ke rumahmu setelah ini."
Aku tersenyum. "Tidak masalah."
----
Kalau saja aku tidak memutuskan untuk lari di sore hari, aku tidak akan bertemu Ian. Ugh, bisa-bisanya aku bertemu dengannya di taman, akan sangat canggung jika aku tidak menyapanya. Tidak ada orang lain lagi selain kami.
"Ayolah Cara, katakan kenapa kau kesal padaku? Apa gara-gara Ley kemarin?" Ian memutuskan untuk membuka suara terlebih dulu.
Aku menghampiri Ian yang duduk sendirian di bangku taman dan melihat rokok di tangannya. "Kau merusak udara segar, tahu?"
"Aku berusaha berhenti."
"Tidak terlihat begitu."
Ian tersenyum sinis. "Tidak segampang itu."
Aku lalu duduk di sebelah Ian. "Aku mau mencoba."
"Apa?"
"Rokok."
Ian menaikkan sebelah alisnya.
Aku tertawa. "Aku ingin tahu rasanya, kenapa benda ini bisa membuatmu kecanduan."
Perlahan Ian menyodorkan rokoknya padaku. Aku menerimanya.
"Hirup perlahan, tahan di mulut beberapa detik, lalu hembuskan."
Aku mencoba melakukan sesuai instruksi Ian, tapi hasilnya aku malah terbatuk-batuk. Ian refleks menepuk-nepuk punggungku.
"Kau juga harus pelan-pelan saat menghembuskannya".
"Yah tetap saja, rasanya tidak enak."
"Itu karena kau belum terbiasa." Katanya sambil tetap menepuk punggungku, kali ini lebih pelan.
"Terserah, aku tetap tidak mengerti dimana enaknya."
Ian hanya mengangguk-angguk.
"Oh dan ngomong-ngomong, aku tetap kesal padamu. Dan ya, ini karena kau diam saja melihat Ley dipukul."
"Hhh, baiklah. Lain kali jika aku melihat mereka bertengkar akan kulerai."
Aku tersenyum. "Janji?" Ujarku sambil menyodorkan jari kelingkingku.
"Janji." Ian balas tersenyum sambil mengunci jari kelingkingnya di jari kelingkingku.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Thing
RomanceCara tidak pernah tersenyum sampai tetangga barunya datang mengusik hidupnya dan membuat hari-harinya lebih ceria. Cara mengira dengan tersenyum, semua orang akan menyukainya. Yang Cara tidak tahu adalah, ada satu orang yang membenci senyuman Cara...