Semacam tidak memiliki tapi takut kehilangan.
-----
Ken Schovitz
"Kau tahu di mana Mr. Schovitz berada? Apa dia ada di sini?"
"Sebentar tuan, biar saya cari."
Selang beberapa waktu, wanita yang menjaga para pasien ini menjawab pertanyaanku.
"Mr. Schovitz ada di kamar 16. Lurus saja, lalu belok ke arah kiri."
"Ah, terimakasih"
Aku berjalan cepat, membalap kecepatan angin sehingga nafasku tersengal-sengal. Atas info yang kudapatkan dari Mama, aku menjadi khawatir dengan Ayahku. Padahal sebelumnya dia tampak baik-baik saja. Apa yang membuatnya seperti ini?
Kenapa dia bisa saja menabrak pohon yang ukurannya lebih besar daripadaku? Ayah benar-benar sangat ceroboh! Untung saja dia tak apa-apa.
Aku mendapatkan kamar yang bertuliskan angka 16 ini. Aku membuka pintunya dan mendapatkan Ayah dan Mama sedang mengobrol berdua. Mama meneteskan dua tetes air mata yang melewati tulang pipinya.
"Ayah!" Seruku.
Ayah membalas panggilanku dengan senyuman tipis di wajahnya. Dahinya di lapisi dengan balutan perban berwarna cream dan menampakkan sedikit darah pada pipinya itu. Tangan kirinya di tandai dengan jarum kecil yang menusuk pergelangan tangannya.
"Kau baik-baik saja? Mengapa Ayah ceroboh sekali?" Desakku dengan nada khawatir.
"Ini sepele. Tadi Ayah hanya mengantuk. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Ayah." Balasnya berusaha tetap tenang.
"Ayah yakin? Aku tidak suka bila kau berbohong, Ayah. Berjanjilah padaku dan Mama bahwa kau akan sembuh!"
"Ayah janji."
Senyum kecil terpampang di wajahnya. Aku membalas senyumannya itu dengan tatapan serius yang mendalam. Aku menyakinkan ayahku agar lekas sembuh. Mama yang sangat protektif terhadap Ayah berulang kali menjatuhkan air mata dari wajahnya.
"Sudahlah ma, Ayah pasti akan baik-baik saja."
Mama mengangguk. Dia mengelap air yang berjatuhan dari wajahnya. Aku mengambil segelas air dari dispenser dan juga sehelai tissue kemudian memberikannya kepada Mama.
Ayah tertidur kemudian. Mama merasa tenang. Dari sela sunyi ini, aku baru mengingat Isabelle. Aku belum memberi kabar padanya, matahari sudah mengumpat di ujung mata memandang. Aku sangat yakin Isabelle akan marah padaku kali ini.
...
"Isabelle?"
"Um, ya?"
"Maafkan aku baru menghubungimu sekarang. Ayah terkena kecelakaan tadi."
"Ah, benarkah? Apa Ayahmu baik - baik saja?"
"Dia baik-baik saja sekarang. Sedang tertidur, mama yang menjaganya."
"Ah, syukurlah!"
Suara Isabelle sangat berbeda dari biasanya. Latar suara juga menjadi ramai. Nyatanya, rumah Belle sepi bukan?
"Belle, sedang apa kau? Dan kenapa latar suaramu menjadi ramai seperti ini? Atau signal handphoneku sedang error ya?"
Pertanyaan yang benar-benar bodoh, Ken!
"A- aku sedang bersama Mama di ruang tamu. Maaf, Mama sedang menyetel tv dengan suara yang keras jadi lumayan bising" Jawabnya.
"Ah, itu tak apa."
Beberapa waktu kemudian, muncul kesunyian di antara kami. Entah apalagi yang harus kami bicarakan di obrolan telepon ini, tapi aku benar-benar bingung mencari bahan pembicaraan.
Dan saat itu, jelas aku menabrak seorang wanita yang memakai sweater cardigan berwarna cream matte. wajahnya di tutupi dengan masker hijau muda, tetapi dari tatapan matanya, sepertinya aku mengenal wanita ini.
"Isabelle?" Kataku, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku? Ah ya, aku sedang ingin mengunjungi Ayahmu, Ken. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu kan? Haha"
Dari wajahnya, aku tahu bahwa dia memaksakan tawa nya itu. Aku tahu dia berbohong.
"Jujurlah padaku, Belle."
"Aku sudah jujur padamu."
"Baiklah. Ayo ke kamar Ayah."
...
Belle hanya menatap Ayah yang sedang tertidur. Hanya Ibu yang menemani Belle mengobrol, percakapan para wanita. Tentu saja aku tidak mengganggu mereka.
"Baiklah Mam' Diana, malam sudah larut. Aku ingin pulang sekarang"
Ujar Belle berdiri dari sofa.
"Ah ya. Kita sampai lupa waktu. Baiklah, biar Ken yang mengantarmu pulang"
Sahut Mamaku.
Belle mengangguk. Dia menyalami mamaku dan mengucapkan selamat tinggal untuknya. Kemudian kami berjalan bersama ke basemen rumah sakit, ke arah mobilku di parkir.
"Belle, perasaanku saja atau kulitmu memucat?"
Tanyaku.
Memang aneh rasanya aku melihat Isabelle seperti ini. Kulitnya yang di pancari sinar lampu menjadi sangat putih. Tapi aku tidak memikirkan bahwa dia makhluk halus."Ah, aku tidak apa - apa. Dimana mobilmu Ken?"
"Itu di depan sana"
Aku membukakan pintu mobil untuk Belle, tetapi saat masuk dia menabrak jendela pintu. Kepalanya itu terlihat benjol sekarang.
"Ken, kepalaku pusing"
Jawabnya.
Segera aku melajukan mobilku dan membawa Isabelle pulang. Berharap agar dia tidak kecapean seperti saat dia mendapat gejala tipus. Dia terlihat aneh sekarang. Tingkah lakunya menjadi lain.
"Isabelle, kita sudah sampai"
"Terimakasih Ken." Jawabnya singkat.
"Besok ada waktu luang?"
"Besok weekend bukan?" Isabelle menautkan alisnya, "Tentu saja ada. Kenapa?"
"Ayo pergi ke taman."
"Dengan senang hati. Jam 2 siang ok" Sahutnya senang.
Kemudian kami berpisah dengan meninggalkan satu kecupan di kedua belah bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Couple✔
Romantik[Telah selesai] Mereka dijodohkan oleh kedua orangtua mereka hanya karena saham. Tapi bagaimana kalau nantinya itu akan menjadi perasaan? Lalu saling suka karena hal sepele. Alam semesta tidak mengizinkan mereka bersama. Seseorang harus pergi. Dan d...