Chapter 5

516 62 21
                                    


Kali ini malam tampak lebih gelap dari biasanya. Meskipun bulan bersinar terang, mendung tak mengijinkan sinar tersebut menyentuh bumi.

Natasha pulang menaiki sepeda yang sempat menganggur di tokonya. Kayuhannya lamban, Natasha ingin menikmati dinginnya malam sebelum ia sampai ke apartemen.

Perlahan menikung melintasi taman kota, suasana taman sepi, hanya terdengar paduan suara beberapa serangga malam. Di malam hari sedikit seram, pikir Natasha. "Nana!" Suara samar-samar terdengar di indera pendengarannya.

Decitan terdengar dari rem yang ditarik mendadak. Natasha menoleh ke kanan dan kiri mencari asal suara. Tak ada siapapun, apa aku salah liat? Batin Natasha.

"Nana." Tepukan kecil mengejutkan Natasha. Ia sontak berbalik dan mendapati seorang pemuda dengan rambut ungu.

"Siapa kau?"

Pemuda bermata mint tersebut mengerutkan alisnya. "Kau tidak mengenalku, Nana?"

Dia tau nama panggilanku? Batin Natasha. Seingatnya, hanya orang terdekatlah yang mengetahui nama tersebut. Apakah pemuda di hadapannya ini teman masa kecil? Keluarganya? Siapa? Siapa dia?

"Kurasa memang tidak. Kau sudah melupakanku, Nana." Sorot kecewa kentara sekali terpancar pada wajahnya.

"Maafkan aku. Sungguh, aku tak ingat siapa kau," ucap Natasha meyakinkan.

Pemuda berambut ungu tersebut masih terdiam. Kepala tertunduk dan memeluk tubuhnya sendiri, melihat hal tersebut rasa bersalah dan iba merayapi hati Natasha.

"Hey, udara semakin dingin," ujar Natasha melihat sekeliling, "bagaimana kalau teh hangat? Apartemenku tidak jauh dari sini," imbuhnya.

Pemuda tersebut mendongak. Ia tersenyum lebar--hampir menyeringai--ia mengangguk cepat. Natasha terkekeh melihat tingkah pemuda tersebut. Natasha turun dari sepeda.

"Terlalu baik," bisik pemuda tersebut hampir tak terdengar.

"Kau tahu namaku. Tapi tak adil jika aku tak tahu namamu," ungkap Natasha sembari berjalan menuntun sepedanya.

"Saeran. Tapi aku senang jika ada yang memanggilku Ran."

>>><<<

"Ran! Gulanya satu atau dua?" tanyaku sedikit berteriak dari dapur.

Ran, pemuda yang kutemui saat perjalanan pulang. Ia memiliki saudara kembar, namun saudaranya pergi saat ia masih kecil. Saat diperjalanan, ia bercerita bahwa kami pernah satu kelas saat SMA.

Tak aneh jika aku melupakannya, mengingat bahwa aku menutup diri saat SMA... Sampai sekarang. "Satu saja," balasnya dari ruang tengah.

Aku mencelupkan satu balok gula ke dalam cangkir Ran. Mengaduknya perlahan hingga gula larut. Kubawa nampan berisi dua cangkir teh ke ruang tengah. Di sana, sudah ada Ran yang duduk di sofa. Ia berhenti membolak-balikkan majalah bulan lalu saat aku meletakkan nampan di meja.

"Silahkan. Aku akan ke kamar sebentar."

Ran mengangguk patuh.

>>><<<

Ini waktu yang tepat, batin Ran.

Ia keluarkan sebuah pil dalam sakunya. Dengan cekatan memasukkan pil tersebut pada cangkir Natasha. Beberapa detik berikutnya, Natasha tampak keluar dari kamar.

"Maaf membuatmu menunggu." Natasha duduk di sebelah Ran. "Dimana kau tinggal?" tanya Natasha sembari meneguk tehnya. Nana (maaf, too tired to typed 'Natasha' although i who was made that name, wahahaha) mengecap lidahnya, rasa aneh terdeteksi. "Apa aku lupa menaruh gula?" gumam Nana menaruh kembali cangkir ke meja.

"Ada apa?" Ran menaikkan satu alisnya.

Tunggu sebentar lagi. Nana mulai merasakan kepalanya sedikit berat.

Sebentar lagi. Kini rasa pusing tersebut mengaburkan pandangannya.

Dan... Dor. Nana ambruk ke pangkuan Ran. Pemuda itu puas melihat Nana yang tak berdaya.

Kau akan kubawa ke Paradise.

SAUVETAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang