Seluruh nyawa Jumin seakan melayang ketika menyadari keadaan sekarang. Ia melihat asap tipis dari pistol yang Saeran genggam. Dan menyadari bahwa gadis di hadapannya mulai memberat, otak Jumin akhirnya dapat bekerja.
Darah segar merembes dari pinggul kiri Nana. "Apa yang kau lakukan?!" Jumin tak percaya bahwa Nana telah melindunginya dari tembakan Saeran.
Jumin dengan perlahan meletakkan Nana di lantai. "Ini... wajar. Bo-bodoh," ucap Nana dengan susah payah menahan sakit, "karna aku mencintaimu," imbuh Nana sebelum kesadarannya menghilang.
Otak Jumin kembali diserang. Jumin tidak siap. "Harusnya aku yang pertama mengatakan itu," gumamnya. Ia menghembuskan napas panjang.
"Let's do it again!" tantang Saeran dengan pistol di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menyeka darah yang mengalir dari hidungnya. Jumin yang sudah kehabisan stamina memetakan senyum sinis. Ia tak yakin akan menang, namun ia harus mengeluarkan Nana. Utuh dan hidup.
>>><<<
Seven berhasil menyusup, ia melewati sebuah aula yang ia yakini sebagai tempat pertemuan. Rambut tomatnya melompat-lompat ketika ia berlari. Langkahnya terhenti saat ia menemukan pertigaan, ia buka laptopnya dengan cepat untuk melihat penunjuk arah.
Prang!
Suara pecahan kaca diikuti oleh suatu benda yang jatuh tak jauh dari Seven. Tentu saja Seven terkejut dan melompat ke kiri. Syukur laptopnya tak ia lempar sembarang. Seven melihat seorang penjaga dengan luka di bagian keningnya. Ia menoleh untuk melihat siapa yang telah memukul penjaga ini.
Mata Seven membulat sempurna.
V?!
"Hai, Luciel. Lama tak jumpa," sapa V dan kemudian membuang botol kaca yang sempat ia gunakan untuk memukul penjaga tersebut, "bagaimana kabarmu?" sambungnya.
Seven memasukkan laptopnya. "Apa yang kau lakukan di sini, V?" tanyanya dengan penuh curiga.
Ditanya seperti itu membuat V sedikit kikuk. "Hm, intinya kau tinggal belok ke kanan, kemudian kau akan menemukan laboratorium di sebelah kiri," jelas V.
Seven tetap kukuh tak akan menuruti V sampai ia menjelaskan maksudnya berada di tempat itu. Namun gagal, para penjaga dengan terburu berdatangan.
"Cepat pergi! Aku yang akan urus mereka!" pekik V memerintah. Mau tak mau Seven menurutinya. "Kau berhutang penjelasan padaku," desis Seven sebelum ia berlari menuju laboratorium, meninggalkan V yang bernapas lega. Setidaknya V masih memiliki waktu untuk merangkai kata-kata penjelasan ke Seven nantinya.
>>><<<
Darah tak hentinya merembes dari lengan Jumin. "Ukh...." Jumin menggigit bibirnya. Napasnya sudah terputus-putus, ia berusaha tetap mempertahankan napasnya agar tidak putus sebelum ia dapat mengeluarkan Nana dengan selamat.
"Bagaimana? Apa kau menyerah? Kikikikiki!" Saeran tersenyum atas kemenangannya.
Dengan semua tenaga yang masih ada, Jumin berusaha berdiri. Ia masih memiliki sebuah kartu trump. Meski tangan kanannya sudah tak dapat ia gunakan akibat tebasan Saeran, tapi tangan kirinya menodongkan sebuah pistol. "Kau yang seharusnya menyerah," desis Jumin.
Melihat pistol yang seharusnya berada di sakunya meghilang, Saeran menjadi sedikit panik. "Kau!" ia beringas berlari ke arah Jumin, dengan pisau di tangannya. Pria bermata arang juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan segera ia tarik pelatuk yang melontarkan peluru terakhir.
Dor!
Saeran jatuh tengkurap.
“Luciel kau-" Jumin kehabisan kata-kata.
(Cie yg scroll :v//ditimpuk masa)
(Hmm.. jadi begini-)
(AKU SAYANG KALIAN~ *nari balet* *lompat indah*)
(Okay lanjut! :v aku cuma iseng btw)
(Oh ya, maaf karna telat publish ^^;; harusnya sih tiap pagi... efek keasyikan rp :"V)
(Ahh~ okay okay kita lanjutkan ^^;;)
Sedetik sebelum Jumin menarik pelatuk, Seven menyeleding kaki Saeran. Tak khayal, Saeran jatuh tengkurap dan peluru terakhir tersebut hanya melukai dinding laboratorium.
"Luciel kau-" Jumin masih tak percaya bahwa Seven menyelamatkan Saeran.
"Tolong hentikan Jumin! Aku dapat menjelaskan semuanya." Luciel berdiri dan menghampiri Jumin.
Jumin mengeluarkan tatapan dinginnya. Seven tahu ini tak akan mudah, ia dalam dilema untuk saat ini. Saeran yang mulai berdiri sedikit meringis. Tanpa pemberitahuan, Jumin mencengkeram kerah kaos Saeran dan menghadiahkannya sebuah pukulan telak.
Saeran seketika terpental. Tak sadarkan diri.
"Jumin!" pekik Seven kemudian berusaha membangunkan saudaranya.
Jumin dengan tertatih menghampiri Nana. Wajah Nana memucat, namun Jumin dapat merasakan napas lemah dengan teratur. "Bertahanlah Natasha," bisik Jumin.
Jumin menggendong Nana layaknya puteri. Meski tangannya berkedut-kedut karena luka yang kembali menganga, Jumin tetap bertahan menggendong Nana.
"Jumin, lewat sini!" Seven yang sudah berada di depan tampak bersusah payah menggendong Saeran yang tak berdaya. Melihat tatapan Jumin, Seven mengerti bahwa Jumin tak dapat mempercayainya lagi.
"Aku berpihak padamu," Jumin. Tatapan memohon Seven dapat mengembalikan setidaknya 2% rasa percaya Jumin.
Seperti perkataan V sebelumnya, akses keluar terasa sangat mudah. V telah membereskan semuanya.
Mereka hampir sampai di pintu keluar. "Bertahanlah, Natasha." Jumin mempercepat langkahnya.
Pintu keluar sudah di depan mata, Seven menendangnya agar dapat terbuka. Namun matanya membulat sempurna saat tahu apa yang menanti mereka di balik pintu.
V belum membereskan semuanya.
>>><<<
Heyaa~ i'm here~
Kasu come with all of kegajean ;-;) besok aku akan ulangan, dan malah asyik rp, kemudian ratjun webtun membuatku candu ;-;) ditambah lagi aku harus mengupdate cerita ini ;-;) oh tuhanku~
KAMU SEDANG MEMBACA
SAUVETAGE
FanfictionMystic Messenger by Cheritzh Fanfict by Kasukma Cover by @immirahan Jumin Han x MC 2 -Bahasa Indonesia- Well... hope you like it