Chapter 11

363 55 24
                                    

Hampir dua puluh menit Jumin berada di dalam bangunan tersebut. Hampir sepuluh penjaga ia lumpuhkan. Hampir sampai, Jumin hampir sampai ke ruangan Nana.

"Di ujung lorong, tunggu 5 detik, dan berbeloklah ke kanan," tuntun Seven dari alat komunikasi.

Jumin menunggu beberapa detik sampai kamera CCTV dapat berhasil Seven hack.

"Sekarang!" Jumin kemudian berbelok ke kanan. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Jumin.

"Lurus, kau akan menemukan ruang Natasha di ujung lorong."

Jumin berlari dalam diam, langkahnya tak terdengar meskipun ia berlari. Ia harus berterimakasih kepada Seven yang meminjamkannya sepatu kedap suara. Bukannya Seven bekerja di dalam ruangan? Mengapa ia membutuhkan sepatu ini? Pertanyaan tersebut Jumin singkirkan, keselamatan Nana harus didahulukan.

Jumin berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Jantungnya berdegup keras, karena jauh berlari atau Nana, ia tak yakin juga. Perlahan Jumin membuka pintu tersebut memperlihatkan seseorang yang sedang bersimpuh dengan tangan tergantung.

"Natasha!" pekik Jumin tertahan.

Nana mendongak ke arah suara. "Ju-Jumin...," gagapnya tak percaya.

Jumin berjalan perlahan, ia memperhatikan tiap jengkal tubuh Nana, penuh luka, penuh lebam, namun kini kain melilit di tubuhnya, tak seperti di foto.

Tak terasa air mata Nana mengalir, Jumin yang melihatnya berjongkok di hadapan Nana. "Jangan menangis, jangan," bisik Jumin.

Bukannya berhenti, air mata Nana semakin deras. Jumin mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya. Dengah hati-hati ia putuskan tali tersebut, agar Nana tak merasa kesakitan.

Ikatan di tangan Nana lepas, ia terkulai lemas. Pergelangan tangannya mulai membiru, menandakan lama tali itu mencengkeram Nana.

Jumin membawa Nana ke dalam dekapannya. Namun itu tak berjalan lama ketika pekikan Seven memekak dari alat komunikasi. "Cepat keluar! Sistem pengamannya akan segera hidup kembali!"

Nana terkejut ketika Jumin tiba-tiba melepas pelukan dan mengalihkan tangan kekar itu untuk meraup kaki dan tengkuknya. Ia tak apa jika hanya di bopong untuk keluar, namun jika digendong layaknya puteri... Jantung Nana kembali berolahraga.

Jumin melingkarkan tangan Nana di lehernya, tentu saja secara perlahan. Ia tak ingin Nana kesakitan. "Pegangan," ucap Jumin sebelum berlari keluar dari bangunan tersebut.

Tatapan Nana sempat berserobok dengan seorang pemuda saat melewati ruangan yang ia yakini tempat pertemuan. Pemuda tersebut mengulum senyum menyaksikan teman masa kecilnya menyelamatkan Nana.

Pemuda tersebut mengekpresikan toh-kan-apa-kubilang? Dengan sedikit menaikkan satu alisnya. Nana tersenyum dengan menunjukkan giginya, meski rasa sakit terasa akibat luka robek di ujung bibirnya.

>>><<<


"Hosh... Hosh... Hosh...."

Deru napas Jumin memburu, dia dan Nana terjebak dalam sebuah ruangan. Entah itu ruang apa, tapi firasat Jumin merass bahwa ia sedang dijebak. Setelah mereka masuk, pintupun dikunci dari luar. 

Beberapa menit sebelumnya Jumin diberitahu Seven untuk masuk ke dalam ruang tersebut. Tak mungkin Seven menjebaknya, namun kenapa pintunya dikunci?

Suara Sevenpun sedikit serak. Dengan kekehan yang terdengar aneh.

SAUVETAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang