Chapter 16

495 45 305
                                    

Seven mendadak membuka satu matanya. “Jaehee, biarkan aku istirahat sebentar.”

Jaehee spontan memukul Seven. Yang dipukul meringis kesakitan. Seven terduduk sembari memegang satu matanya. “Gaaahhh!! Kenapa kau memukulku?!”

“Kau pantas menerimanya.”

“Jaehee~ kau kejam sekali,” rengek Seven.

Jaehee kemudian menyadari kejanggalan. “Tapi kenapa kau bisa-“

“Ho! Ho! Ho! God Seven tak akan kalah semudah itu!”

Jaehee akhirnya tahu setelah melihat pakaian anti peluru melekat pada tubuh Seven. “Dimana Mr. Han?”

Seven seakan mengingat sesuatu. Ia melompat dan berlari membuka pintu. “Hey, Jumin. Kau sudah bisa menikah.” Seven membantu Jumin membawa Nana ke helikopter. Tak lupa ia membopong adiknya yang masih tak sadarkan diri.

Pukulan orang yang marah sangat mematikan, batin Seven saat menyenderkan Saeran.

>>><<<

Pria dengan lengan terperban tidur di pinggir ranjang. Tak ia hiraukan badannya yang akan sakit saat bangun nanti. Yang terpenting adalah ia ada disana saat gadis tersebut sadar.

Belaian lembut dapat ia rasakan. Semakin membuatnya masuk ke alam mimpi. Tapi kesadaran menamparnya keras.

Jumin terduduk tegak. Tangan yang awalnya membelai kini kaku, terkejut dengan reaksi Jumin. “Apa aku membangunkanmu?” Suara serak terdengar samar. Jumin mematung, ia tak bisa mengendalikan kebahagiannya yang meluap-luap. Setetes air lolos dari mata Jumin.

“Jangan menangis, jangan,” pinta gadis tersebut mencoba mengusap airmata Jumin.

Kesadaran kembali menamparnya untuk kali kedua. “Aku senang, sangat senang! Jangan pernah pergi lagi,” ujar Jumin dengan tatapan memohon. Tatapan yang sama saat Jumin memintanya menginap.

“Aku tak akan pergi kemana.”

“Terimakasih Natasha, Terimakasih!” ungkap Jumin di sela isakannya.

Mau tak mau Nana tertular juga, hidungnya mulai memerah. “Hiks... Jumin, jangan menangis... Hiks... Aku kan jadi ikut menangis... Hiks....”

Jumin menghapus airmatanya, ia terkekeh melihat tingkah gadisnya. Tak dapat menahan lagi, ia meraup tengkuk Nana dan membawa gadis itu kedalam dekapannya. “Aku sangat mencintaimu, Natasha... Sangat,” bisik Jumin.

Gadis tersebut menegang. Belum siap akan pernyataan tersebut, tapi ia akhirnya membalas pelukan Jumin. “Aku juga sangat mencintaimu... Jumin.”

Jumin melepas pelukannya, menimbulkan sedikit rasa tidak rela di hati Nana. “Natash-“ Tangan Nana mennyentuh bibir Jumin. “Mulai sekarang panggil aku Nana.”

Gelengan pelan Jumin menolak permintaan gadis tersebut. “Tidak. Mulai sekarang namamu adalah Mrs. Han,” ucap Jumin dengan senyuman yang memabukkan Nana. Tapi kali ini kesadaran yang menampar Nana agar tak larut dalam senyum Jumin.

Nana tersentak, rona merah dengan cepat menjalar sampai ke telinganya.“A-apa maksudmu?”

“Kau harus menikah denganku.”

Lamaran Jumin—yang lebih mirip paksaan—membekukan dunia Nana.  Ia tak menyangka akan dilamar oleh Jumin Han, di rumah sakit, dalam keadaan seperti ini. Ia tahu bahwa ia tak akan bisa menolak. Akhirnya ia mengangguk dan mengeluarkan senyum pasrah-pasrah bahagia.

Atas permintaan Nana, kasur yang harusnya ditempati satu orang kini terisi oleh Jumin dan Nana. Gadis itu memaksa agar Jumin menemaninya tidur.  Mereka saling berhadapan, namun karena faktor tinggi badan, wajah Nana hanya sebatas dada Jumin.

Keep me by your side,” bisik Nana.

Jumin merengkuh  Nana, membelai rambut kuning pendeknya. “Of course, My Lady,” balas Jumin. Malam itu, bulan menjadi saksi bisu lamaran Jumin. Hari terasa berat, namun Jumin dan Nana tertap bertahan sampai sekarang.  Mereka berdua tertidur dengan senyum mengembang yang tak kunjung layu.

SAUVETAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang