Pagi ini turun salju. Aku melihat ke luar jendela apartemenku dengan seksama. Aku akan benar-benar kehilangan Min Yoongi. Wisudanya akan dilaksanakan hari ini dan aku tidak siap, tidak akan pernah siap. Kenapa aku harus melepasnya?Aku bahkan tidak pernah menggenggamnya, lalu bagaimana aku harus melepasnya?
"Kau bangun pagi sekali", terdengar suara serak Bibi Mary dari arah belakangku. Kebetulan hari ini ia sedang berkunjung dan menetap untuk beberapa hari.
"Aku harus menghadari sebuah acara", kataku pelan, masih melamun sambil menghitung butiran-butiran salju yang turun.
"Kau seperti akan pergi ke acara pemakaman". Ya, perasaanku mungkin akan di makamkan sebentar lagi.
"Kenapa sedih sekali?" tanyanya.
Tidak tahu harus menjawab apa. Aku memang sedih. Tetapi tidak hanya sedih yang kurasakan. Terlalu banyak perasaan yang bercampur menjadi satu membuatku bingung. Rasanya aku ingin memutar ulang waktu dan bertemu dengan Min Yoongi lebih awal dan mengenalnya lebih jauh. Aku juga ingin menyelami jiwanya, sama seperti matanya yang telah menyelami jiwaku.
"You okay?" Tanya Bibi Mary, ia sudah ada di belakangku dan mengusap-usap punggungku. Aku hanya mengangguk. Bagaimana harus menjelaskan kalau aku sendiri bahkan tidak mengerti dengan jelas apa yang sedang kurasakan?
"Aku harus bersiap-siap", aku memberikan senyum terakhir ke pada Bibi Mary sebelum kembali ke kamarku untuk bersiap-siap.
Aku membuka lemariku lebar-lebar dan melihat baju apa yang pantas kukenakan. Aku tidak banyak memiliki gaun karena aku tidak pernah terlihat baik saat memakainya. Aku hanya memiliki beberapa yang kubeli beberapa tahun lalu, itupun hanya dipakai sekali dan tidak pernah dipakai lagi. Apakah masih muat?
Aku mengeluarkannya satu persatu. Sejauh ini aku hanya memiliki dua gaun, ini bahkan tidak pantas disebut gaun. Ini terlalu casual. Aku memiliki dress casual berwarna biru navy dengan lengan tiga per empat ujung lengan dan kerah berwarna putih dan yang satu lagi dress berwarna mocha dengan pita besar di belakangnya.
Setelah mencobanya satu persatu ternyata dress birunya jatuh sedikit di atas lutut sementara yang mocha jatuh tepat selutut. Sepertinya yang biru lebih baik, tetapi apakah pantas? Yang mocha terlalu tipis, aku bisa mati kedinginan. Sudahlah pakai saja yang biru.
Aku melakukan ritual pagi di kamar mandi. Kemudian mulai berdandan. Aku tidak biasa menggunakan make up, tapi hari ini aku harus tampil sedikit berbeda. Paling tidak di saat terakhir aku bertemu dengan Min Yoongi aku bisa membuatnya sedikit terkesan. Itu pun kalau ia menyadari keberadaanku.
"Bibi, bisa tolong lakukan sesuatu dengan rambutku?" Aku berjalan menuju ruang tamu dan menemukan Bibi Mary sedang menikmati kopinya.
Ia melihatku sejenak. Well, itu agak terlalu lama untuk dikatakan sejenak. Kemudian ia tersenyum begitu lebar sampai aku bisa menghitung semua gigi depannya. Ia berdiri dan berjalan menghampiriku.
"Kau sangat cantik", katanya sambil mengelus rambutku.
"Ini baru namanya perempuan", ia meledekku. Heol, aku kan memang perempuan.
"Duduklah", aku mengambil kursi dan duduk.
"Aku tidak memiliki banyak alat untuk menata rambut", kataku pelan. Sekarang baruku sadari aku memang belum menjadi perempuan seutuhnya.
"Tidak apa-apa. Aku akan membantumu", kata Bibi Mary.
"Aku akan sedikit menyingkirkan sedikit rambut dari wajahmu agar semua orang bisa melihat seberapa cantiknya kau hari ini", wajahku terasa panas karena pujian Bibi Mary. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan pada rambutku tetapi ini semua membuatku mengantuk. Aku menguap beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Two
Fiksi PenggemarSiapa sangka seorang yang hanya menjadi mimpi bagiku dua tahun yang lalu menjadi kenyataan? Dua puluh dua tahun umurku dan saat itu lah keajaiban sekaligus bencana terjadi. Tidak tahu harus menyalahkan siapa, ia salah dan akupun salah. Seharusnya ak...