Ten:

28 4 0
                                    

Lantai rumah sakit yang dingin dan bersih ini sangat mengintimidasi. Lorong yang dominan berwarna putih dan dinginnya penyejuk ruangan semakin membuatku merasa kecil.

Memar di kakiku terlihat sedikit membiru sekarang, mungkin nanti malam aku akan demam. Ini bukan pertama kalinya aku jatuh dan terluka, jadi aku tahu apa yang akan terjadi.

Perasaan khawatir menggantung di dadaku. Banyak juga pertanyaan yang berputar-putar di dalam otakku. Aku sungguh tidak suka perasaan ini. Perasaan ini mengingatkanku akan masa kecil bagian kelam dalam hidupku. Aku ingin melupakannya, tetapi perasaan seperti ini selalu diikuti dengan ingatan-ingatan itu.

Sudah hampir setengah jam Min Yoongi berada di dalam sana, ia sedang menjalani beberapa pengobatan sepertinya. Apakah cideranya parah? Apakah ia bisa sembuh? Kenapa ini harus terjadi? Tangannya adalah hal yang paling penting dalam hidup Min Yoongi. Jika suatu hal buruk terjadi pada tangannya, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.

"Terima kasih, dokter", terdengar suaranya, Min Yoongi akhirnya keluar dari ruangan menyeramkan itu. Aku langsung berdiri dan menghampirinya secepat mungkin. Kupandangi wajahnya lekat-lekat, menebak diagnosa dokter untuknya. Lagi-lagi poker face itu.

"Bagaimana? Apa katanya?" Aku bisa mendengar suaraku bergetar, lebih goyah dari pada saat naik tangga untuk keluar dari lift tadi. Ia dengan tenang memasukkan tangan kanannya yang terluka ke dalam kantong celananya. Aku bisa melihat perban yang melilit telapak tangannya dan beberapa jarinya. Itu terlihat sangat parah.

"Bagaimana...??" Ulangku lagi, kali ini lebih terdengar putus asa karena Min Yoongi tidak kunjung menjawab. Aku tahu ia tidak akan membuka mulutnya.

Ini adalah hal yang selalu aku lakukan. Mengerutkan keningku disaat aku ingin menangis. Aku tahu aku terlihat sangat jelek saat ini, tetapi aku tidak bisa menahannya. Aku telah menghancurkan hidup seseorang dan seseorang itu adalah Min Yoongi. Seseorang yang bahkan aku rela mati untuknya.

Kedua tanganku meraih kedua lengannya dan sedikit mengguncangnya, berhati-hati agar tidak mengenai tangan kanannya yang terluka. Ia tidak kunjung menjawab, Min Yoongi hanya melihat lantai seakan aku tidak ada di depannya dan mengguncang kedua lengannya. Kenapa ia sulit sekali?

"Min Yoongi, kumohon..." Sudah terhitung aku menangis dua kali di depannya dan kali ini aku benar-benar menangis di depan wajanya. Min Yoongi akan benar-benar menganggapku gadis lemah sekarang.

"Berikan aku alamat rumahmu", katanya tiba-tiba. Aku menghentikan isakanku sejenak. Dia bilang apa tadi? Apakah aku salah dengar?

Min Yoongi mungkin ingin menjadikan aku sebagai pembantunya atau menagih semua biaya rumah sakit ini padaku. Aku akan melakukan apapun agar ia bisa sembuh dan kembali bermusik.

Aku menarik lengan kirinya ke meja resepsionis tidak jauh dari tempat kami berdiri tadi.

"Maaf, bolehkah aku meminta kertas dan meminjam pena?" Tanyaku kepada seorang suster yang sedang berdiri dan memegang sebuah papan jalan dengan banyak kertas terselip di atasnya. Ia melihatku dengan wajah aneh. Aku benar-benar tidak bisamenahan tangisanku, tidak, bukan begitu. Tepatnya, air mata ini tidak bisa behenti mengalir.

Suster tadi mengambil secarik kertas memo dan pena yang terselip pada saku dadanya padaku. Aku menulis alamatku yang sudah kuhapal diluar kepala di atas kertas itu. Pena berlogo rumah sakit itu kuberikan lagi kepada suster yang sedang menungguku tidak sabar.

"berhentilah menangis", kata Min Yoongi dari belakangku. Tanggul air mataku sepertinya bocor, dan kata-katanya barusan membuat retakannya semakin besar. Karena setelah itu air mata semakin deras mengalir dari mataku sampai menetes ke atas kertas tadi. Aku cepat-cepat mengembalikan pena itu dan berbalik.

Twenty TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang