Suara detak jantungnya tidak kalah nyaring dengan ketukan high heels yang ia gunakan. Gadis itu mencengkram tasnya begitu kuat seakan hidupnya tergantung oleh benda itu. Paperbag di tangan kirinya berayun dan menimbulkan suara berisik seiring ia berjalan. Matanya terpaku pada lift yang terletak di ujung koridor. Suara napasnya keras dan tidak teratur. Cheryl benar-benar gugup akan bertemu dengan Yoongi.
Berkali-kali ia menghembuskan napas lewat bibir merah mudanya, berharap bisa menghilangakn rasa gugup yang membuatnya seperti robot. Lift yang menjadi fokus matanya terasa tak kunjung sampai meskipun ia sudah berjalan cepat.
Tanpa ragu Cheryl menekan tombol turun dan menunggu lift untuk datang mengangkutnya. Kakinya mengetuk lantai tidak sabar. Matanya menelusuri sekeliling dan kembali lagi ke layar digital yang menunjukkan angka lantai dimana lift berada. Tangannya ia lipat di depan dada. Cheryl bukanlah seseorang yang suka menggunakan gestur tersebut, ia lebih suka menyatukan tangannya di depan perut agar terkesan sopan. Tapi kali ini ia benar-benar melupakan segalanya dan menjadi tidak sabaran.
Begitu pintu lift terbuka ia buru-buru masuk dan menekan tombol lantai G dimana ia akan bertemu dengan Yoongi. Selama di lift banyak hal yang ia pikirkan. Sesaat ia berdoa agar lift-nya tidak berhenti, macet atau melakukan hal aneh. Sesaat yang lain ia memikirkan bagaimana pertemuannya dengan Yoongi nanti.
Jangan, jangan bersikap aneh Cher. Bersikaplah seperti biasa dan tenang. Yoongi menyukai wanita yang tenang, batin Cheryl dalam hati.
Dalam kesunyian Cheryl ikut menghitung mundur angka yang tertera. Semakin kecil angkanya, semakin keras jantungnya berdetak. Berdetak sangat keras hingga ia merasa sakit di dadanya. Cheryl bisa saja berlari dan melompat saat ini juga karena ia merasa terlalu excited. Rasanya seperti terlalu banyak makan makanan manis, alias sugar rush. Fakta bahwa ia akan bertemu dengan seseorang yang juga dipanggil 'Suga' menjadi sebuah kebetulan yang lucu.
Cheryl juga beberapa kali memastikan penampilannya lewat cermin. Memastikan bahwa lipstick-nya masih dengan warna sempurna tanpa sedikitpun pudar dan tidak ada kilauan tidak perlu yang ada di wajahnya. Keinginan dirinya untuk membuat Yoongi terkesan sangat besar. hingga membuatnya kembali mengeluarkan wewangian dari tasnya dan menggunakannya di tubuh dan lehernya. Tidak lupa latihan senyum dan menyembunyikan anak rambutnya yang susah di atur ke belakang telinga.
Kalem Cher. Jangan panic, katanya lagi dalam hati.
Begitu pintu lift terbuka, perlahan-lahan ia bisa langsung menemukan Yoongi yang sedang duduk di bangku lobby sambil tertunduk memainkan ponselnya. Yoongi dan ponsel keluaran terbarunya yang tidak terpisahkan. Tentu saja Cheryl dengan mudah menemukan Yoongi, lobby sudah tidak ada orang selain mereka berdua.
Selangkah, dua langkah kaki Cheryl keluar dari lift. Langkahnya pelan namun pasti. Tidak ingin terlihat terlalu excited, ia harus tetap terkontrol. Keheningan yang sesak menyelimuti lobby. Hanya terdengar suara jam analog besar yang berdetik dan ketukan sepatu hak tinggi milik Cheryl.
"Menunggu lama?" Tanya Cheryl dengan suara yang entah mengapa menjadi rendah dan kaku. Seketika Yoongi mengangkat kepalanya. Ia melihat Cheryl tepat dimatanya meskipun ia sedikit dibuat silau akibat lampu yang berada tepat di atas kepala Cheryl.
Mata itu... Dimana aku pernah melihatnya? Tanya oongi dalam hati.
Tiba-tiba saja ia merasa lebih peduli pada Cheryl setiap kali mereka bertemu dan Yoongi menatap mata Cheryl agak terlalu lama dari waktu yang seharusnya. Karena setiap ia melihat mata itu, maka akan muncul sepotong ingatan aneh mengenai sepasang mata yang mirip dengan milik Cheryl. Tapi Yoongi tidak dapat mengingat sedikitpun petunjuk dimana ia melihatnya. Entah mengapa ia jadi memiliki keinginan untuk menjaga Cheryl dan membuat kesedihan yang selalu bersembunyi di balik matanya yang lebih banyak bicara dari pada bibir cantik miliknya hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Two
FanfictionSiapa sangka seorang yang hanya menjadi mimpi bagiku dua tahun yang lalu menjadi kenyataan? Dua puluh dua tahun umurku dan saat itu lah keajaiban sekaligus bencana terjadi. Tidak tahu harus menyalahkan siapa, ia salah dan akupun salah. Seharusnya ak...