Bab 2

534 72 31
                                    

Pelajaran hari ini memang membuat suntuk, pertama dua jam fisika ditambah dua jam matematika, lalu ditambah dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Siapa yang tidak pusing? Oh, tentu saja Reyhan. Dia sangat menikmati pelajaran-pelajaran yang menguras otak. Bisa dibilang, itu hobinya. Betapa beruntungnya dia.

"Duh gue kayaknya mau muntah," ujar Devina sambil memegangi kepalanya dengan dramatis.

"Lebay lo najis." Reyhan memutar bola matanya.

"Ya ya ya, gue bukan orang ber-IQ di atas 140 kayak lo, Rey. Kita beda," protes Devina tak terima ketika cowok itu selalu mengentengkan pelajaran yang ia kejar-kejar setengah mati.

"Kan udah gue bilang, kalo lo ada kemauan pasti bisa. Bukan masalah IQ gue atau gimana Dev," balas Rayhan. "Lo aja kerjanya molor mulu."

"Tapi kan—"

"Haduuh kalian ini ribut banget deh, mending kita makan. Gue laper banget nih," kata Nai sambil mengelus-elus perutnya. "Gue kepengen bakso Bang Jurig."

"Haish! Seriusan nama abangnya 'Jurig'?" tanya Devina, membelalakkan matanya yang bulat. "Kok dari dulu gue beli bakso di dia, gue baru tahu sekarang sih? Pantesan tampangnya horor abis!"

"Tampang dia horor bukan gara-gara namanya Jurig, tapi gara-gara dia stres lo nggak bayar-bayar utang." Reyhan tertawa terbahak-bahak, Devina menyenggol bahunya keras sampai tubuh Reyhan agak terhuyung.

Ia memanyunkan bibirnya seperti bebek. "Entar kalo duit bulanan gue udah turun juga gue bayar kok! Tapi..." Gadis itu mendekatkan mulutnya pada telinga Reyhan, "tombokin dulu dong."

"Ogah!"

Setelah beberapa perdebatan antara Devina dan Reyhan, akhirnya mereka sampai di kantin. Nai cepat-cepat berlari ke gerobak bakso Bang Jurig sebelum antrian mulai membludak. Sementara, Devina dan Reyhan berjalan beriringan menuju gerobak bubur ayam.

"Aww panas panas panas!" gumam Nai ketika ia membawa semangkuk bakso kesukaannya. Asap masih mengepul di atasnya, menunjukkan bahwa bakso itu masih sangat panas.

Nai duduk di tempat biasa mereka bertiga duduk, yaitu tempat bermuatan empat orang yang terletak agak di pojok kantin. Tiba-tiba seorang cowok dengan seenaknya duduk tepat di depannya, membuat cewek itu tersedak dan cepat-cepat menenggak air minumnya. Wajahnya berubah merah.

"Selamat siang Brokoli," sapa cowok yang bernama Fadil itu.

"Ngapain lo di sini?!" seru Nai ketus. "Pergi sana hush hush!"

"Nggak usah ngusir-ngusir deh." Fadil iseng-iseng menyentuh rambut Nai, namun gadis itu cepat-cepat menepis tangannya. Ia paling tidak suka disentuh rambutnya, apalagi oleh Fadil yang sudah ia anggap musuh. "Duh, si Brokoli marah. Takut!"

"Enyah lo dari sini, bikin gue nggak nafsu makan aja!" Omel Nai sambil menusuk-nusuk baksonya kasar dengan garpu seolah-olah ia adalah seorang psikopat.

Nai sangat sebal dengan Fadil yang notabene adalah tetangganya sekaligus temannya sejak di bangku sekolah menengah pertama, karena suatu hal. Waktu kelas sembilan, ia pernah hampir jadian dengan cinta pertamanya yang bernama Ezra. Tapi karena makhluk bernama Fadil, semuanya kandas begitu saja. Andai waktu itu ia tidak duduk bersebelahan dengan Fadil saat nonton bareng sama Ezra, dan jika ia tak mengatakan hal-hal memalukan tentang Nai di depan Ezra, mungkin mereka sudah jadian.

Sejak saat itu, Nai patah hati berat dan sulit suka sama orang lagi sampai saat ini. Dan ia juga memusuhi Fadil sejak saat itu. Namun sial, cowok itu senang sekali melihat singa mengamuk. Dan ia tak pernah merasa bersalah.

"Gue kan mengatakan yang sejujurnya," kata Fadil beralasan pada waktu Nai marah besar padanya setelah kejadian di bioskop. "Lagipula cowok yang tulus itu nggak akan peduli sama hal-hal bodoh dan memalukan yang dilakuin sama ceweknya."

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang