Bab 4

363 59 2
                                    

Setelah murid-murid kelas 11 IPA 5 menyelesaikan lari mereka, Nai dan Axel masih harus melakukan putaran tambahan, yaitu dua kali lipat. Jadi totalnya mereka harus mengitari lingkungan sekolah yang luasnya amat-sangat besar itu sebanyak enam kali.

Cewek itu menenggak air dalam botol minum besarnya yang semula ia letakkan di pinggir lapangan, lalu bersiap untuk berlari dengan rasa gembira. Setidaknya walaupun ia dihukum, ia bisa dihukum bersama anak baru SMA Pusaka yang ganteng. Kapan lagi ia akan mendapat kesempatan langka seperti itu?

Setelah Pak Arman meniupkan peluitnya, keduanya—Nai dan Axel—mulai berlari dengan kecepatan cukup kencang. Namun ketika mereka sudah berbelok dan tak terlihat oleh guru galak itu, mereka memperlambat langkah mereka. Begitu lambat, bahkan terlihat seperti berjalan santai.

"Kok lo bisa telat sih?" tanya Nai membuka percakapan, karena sedari tadi cowok di sebelahnya itu hanya diam saja.

"Sebetulnya ada masalah teknis," katanya. Dahi Nai mengerut.

"Maksudnya?"

"Tadi gue mendapatkan panggilan alam tiba-tiba. Nah, sebetulnya itu belum telat. Tapi pas gue mau keluar, pintu toiletnya macet, alhasil gue mesti teriak dulu biar ada yang denger. Dan yah, gitu deh," katanya sembari membetulkan rambut bagian depannya yang kepanjangan itu menutupi matanya. Jika saja Pak Samijan—guru tatib yang amat galak—melihatnya, pasti rambutnya sudah ditebas oleh gunting ajaib yang selalu berada di sakunya. "Lo sendiri?"

"Ini semua gara-gara Devina." Nai memanyunkan bibirnya ketika mengingat hal tersebut. "Dia lama banget ganti bajunya, jadinya gue telat deh."

Dua orang itu menyadari kalau sebentar lagi akan memutar ke tempat yang terlihat oleh Pak Arman. Mereka mempercepat lari mereka sampai lagi-lagi mereka berbelok dan hilang dari pandangan guru olahraga itu.

"Emang Devina di mana sekarang?" Axel lanjut bertanya.

"Ada urusan OSIS sama Reyhan, jadinya mereka diizinin buat nggak ikut pelajaran olahraga." Nai lagi-lagi memanyunkan bibirnya sebal, membuat Axel tertawa dibuatnya. Nai menoleh ke arah cowok itu, "apanya yang lucu?"

Belum sempat Axel menjawab, tiba-tiba ada suara anjing menggonggong dari arah belakang mereka yang membuat keduanya terdiam dan menoleh secara bersamaan. Ada anjing hitam berukuran besar tengah mengejar mereka dengan tampang sangarnya.

"D-di sini ada anjing?" bisik Axel.

"Ada satu, punya penjaga sekolah." Nai kesulitan menelan air liurnya.

"Anjingnya gigit ga?" tanya cowok itu panik.

Suara gonggongan anjing tersebut makin mendekat, sontak kedua orang ini berlari tunggang-langgang. Tanpa menyerah, anjing itu terus mengejar Nai dan Axel yang kini ketakutan setengah mati.

"Kita ke mana?" tanya Axel panik.

"Kita ke—AAA!" cewek itu berteriak nyaring ketika kakinya tersandung sebongkah batu dan terjatuh. Axel yang berada di belakangnyapun ikut terjatuh, hampir menimpanya. Nai meringis kesakitan. Pasalnya, kedua lututnya terbentur aspal yang kasar.

"Ngapain coba ada batu segede gini di tengah jalan!" jerit Nai penuh derita.

Suara anjing itu semakin mendekat. Nai dan Axel cuma bisa memejamkan mata dan berdoa dalam hati semoga anjing ganas itu tidak mencabik-cabik mereka.

Satu... Dua... Tiga...

Tidak ada yang terjadi. Yang terdengar hanya rontaan suara anjing itu. Nai yang pertama kali membuka mata. Pak Iwan, penjaga sekolah yang berumur berkepala lima itu tengah memegangi tali leher anjing tersebut.

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang