Seminggu ini sangat menyiksa bagi Devina. Setiap hari ia duduk di sebelah Nai, tetapi tidak sedikitpun ia berinteraksi dengannya. Nai mengabaikannya, menganggap seakan-akan dirinya tidak nyata. Tetapi di sisi lain, Devina juga terlalu takut untuk bicara duluan dengannya. Reyhan masih mau berbicara dengannya. Tetapi iapun terlihat enggan ketika pembicaraannya bukan soal kepentingan OSIS.
Hari ini Devina bangun pagi-pagi sekali. Ia membuat kue cokelat kesukaan Nai sebagai permintaan maaf. Ia separuh yakin Nai akan memaafkannya karena cewek itu tidak bisa menolak cokelat. Tetapi tetap saja jantungnya berdebar ketika ia hendak masuk kelas.
Di sana Naila sudah berada di tempatnya dengan earphone di telinga. Dengan ragu, ia menepuk pundaknya. Nai melepas earphone-nya dan tersenyum pada Devina.
"Hai, Dev. Ada apa?" tanyanya seakan-akan tidak ada masalah di antara mereka.
"Gue... Gue mau minta maaf," kata cewek itu akhirnya. "Ini buat lo. Gue harap lo mau maafin gue."
Nai terdiam dan memandangi kue cokelat yang Devina buatkan untuknya sejenak. Jemarinya mengetuk meja. Salah satu sudut bibirnya terangkat.
"Makasih tapi... Apakah dengan lo minta maaf dan repot-repot ngasih gue ginian, lo bakal ninggalin Axel buat gue?" tanya Nai sinis.
Devina terdiam cukup lama. Nai hanya tertawa.
"Nggak apa-apa." Nai menepuk-nepuk pundak sahabatnya—atau mantan sahabatnya.
"Gue cuma memastikan aja sih, lo bener-bener nganggep gue sahabat atau nggak. Ternyata emang gue nggak ada apa-apanya di mata lo." Nai menggelengkan kepalanya. "Abaikan omongan gue, gue udah nggak peduli sama Axel. Gue bahkan nggak sesuka itu sama dia. Lagipula gue udah jadian sama Jose."
Nai meninggalkan tempat duduknya menuju pintu. Sebelum ia meninggalkan kelas, ia berbalik dan berkata, "oh iya, kuenya kasih aja buat Axel. Tiba-tiba gue jadi nggak suka cokelat."
*
Seseorang mengetuk kamar Naila. Ia yang sedang tidur-tiduran sangat malas untuk membukanya. Tadi sore sepulang sekolah, ia dan Jose nonton untuk yang pertama kalinya. Walaupun Nai merasa cukup senang karena akhirnya merasakan yang namanya punya pacar, Ia tidak merasakan sesuatu yang istimewa ketika sedang bersama dengan Jose.
Ia ingat ketika Jose datang di malam ketika Nai melihat Devina dan Axel bersama. Cowok itu datang ke rumahnya dan membawakannya sebuket mawar merah—walaupun Nai lebih suka bunga lili—dan memintanya untuk menjadi pacarnya, Nai langsung menerimanya tanpa pikir panjang.
"Nai." Suara Bang Dion terdengar dari balik pintu.
"Buka aja Bang," teriak Nai.
"Kak Nai ada yang nyariin!" kini Tita yang bersuara.
Nai mendesah sebal, lalu dengan enggan membuka pintu. Ketika sudah sampai di ruang tamu, ia tidak mendapati ada siapa-siapa.
"Siapa sih Bang? Kok nggak ada orang?"
"Katanya di depan aja."
"Suruh masuk aja kali Bang," protes Nai.
"Bawel banget nih anak. Buruan keluar sana," omel abangnya.
Nai beranjak keluar. Di depan pagarnya ada Fadil yang sudah menunggunya. Raut wajahnya terlihat tidak mengenakkan, membuat perasaan Nai langsung tidak enak.
"Kenapa, Dil?" tanya Nai dengan dahi terkerut.
"Lo... Sama Jose?" tanyanya pelan, tidak seperti Fadil yang biasanya—dengan suaranya yang seperti toa masjid.
"Iya... Kenapa?" tanya Nai, mengulangi pertanyaan yang sama.
"Lo gila ya?"
"Apaan sih? Lo dateng dateng tiba-tiba ngatain gue gila."
"Lo tahu persis kan gimana Jose itu? Dia nggak baik buat lo. Udah berapa cewek yang jadi korbannya." Nada bicara Fadil meninggi. Ia terlihat sangat serius, wajahnya memerah memendam amarah. Nai tidak pernah melihat Fadil yang seperti ini.
"Lo kenapa sih? Mau dia baik atau nggak itu urusan gue. Kenapa lo nggak bisa banget ngeliat gue bahagia? Dulu waktu kelas 9 lo ngehancurin first date gue sama Ezra. Sekarang pas gue udah punya cowok lagi, mau lo hancurin lagi? Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo." Nai menghela napas kasar. "Gue pikir gue udah maafin lo, tapi ternyata lo malah kayak gini."
"Ezra jadiin lo bahan taruhan. Gue nggak mau ngebiarin itu, Nai. Lo terlalu polos."
"Terus sekarang apa? Jose juga jadiin gue bahan taruhan?"
Fadil terdiam. Cowok itu teringat lagi kejadian sepulang sekolah ketika Jose berkumpul dengan teman-temannya sebelum ia menonton dengan Nai. Mereka sedang melakukan transaksi taruhan atau apapun itu. Dan Fadil dengar betul apa yang Jose katakan, "udah gue bilang. Gue bisa dapetin Nai kurang dari sebulan. Cewek yang baru cantik itu murahan."
"Kenapa lo peduli banget sama hidup gue, Dil?" Nai tertawa sinis. "Lo suka sama gue?"
Fadil menolehkan kepalanya. "Kalo iya kenapa?"
Kini Nai yang terhenyak. Ia meninggalkan Fadil ke dalam rumah, berlari menuju kamarnya—melewati kakak dan adiknya yang menatapnya heran.
"Lah ini anak kenapa?" tanya Bang Dion, Tita hanya angkat bahu.
Nai buru-buru menutup pintu kamarnya. Jantungnya berdegup kencang. Cewek itu tidak pernah menyangka pertanyaan asal-asalannya itu akan dijawab dengan sedemikian serius. Nai berani bersumpah tidak ada tanda-tanda bercanda di wajah Fadil.
"Dia serius nggak sih? Kok gue deg-degan parah gini?" tanya Nai pada dirinya sendiri. Ia menutup wajahnya dengan bantal, lalu berteriak keras-keras.
Dan Nai sebetulnya tidak benar-benar menepis perkataan Fadil tentang Jose mentah-mentah. Ia memikirkannya. Cowok itu sudah mempermainkan banyak orang. Dan jika dipikir-pikir lagi, Nai menerimanya tanpa pemikiran panjang. Nai menerimanya karena ia sedang kecewa. Dan itu adalah sebuah kesalahan.
Sementara di sisi lain, Fadil sedang mengutuk dirinya sendiri karena keceplosan di saat yang amat tidak tepat. Ia menjambak rambutnya frustasi. Ia berpikir, bagaimana ia harus menghadapi Nai sekarang? Bisa-bisa cewek itu tidak akan mau melihat wujudnya lagi selamanya.
"Bodoh! Kenapa harus sampe keceplosan sih?" rutuknya.
*
"Kamu kenapa sih, Dev? Kok akhir-akhir ini sering ngelamun gitu?" tanya Axel. Mereka sedang duduk di tepi kolam renang di rumah Devina. Separuh kaki mereka terendam air kolam yang dingin.
"Entahlah, aku juga bingung."
"Lagi ada masalah sama Naila ya? Kok aku liat kalian ngga ngobrol sih?"
"Iya... Semacam itu deh," jawab Devina enggan. Memikirkannya saja sudah pusing, membicarakannya malah memperburuk suasana hatinya.
"Aku boleh tahu kenapa?" tanya Axel lembut.
"Nggak... Bukan apa-apa kok. Masalah antar cewek."
"Lebih baik kamu cepetan selesain masalahnya sama Nai. Dia sahabat kamu kan? Masa diem-dieman terus." Tangan cowok itu terangkat, lalu mengusap kepala Devina.
Devina tersenyum dan mengangguk.
Sambil bergumam dalam hati, gimana caranya mau diselesain kalau masalahnya itu kamu?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of a Frizzy Haired Girl
Teen FictionNaila adalah cewek berambut keriting bak brokoli yang amat cuek dan cenderung nggak peduli sama pendapat orang lain tentang rambutnya yang menarik perhatian itu. Namun apa yang terjadi jika seseorang yang ia suka mengejek rambutnya? Semuanya berubah...