Bab 14

202 36 12
                                    

Jadwal tidur siang Nai tercemar karena bel pintu yang berbunyi nyaring berkali-kali. Selama liburan semester, waktu tidurnya benar-benar bertambah. Kalau kata Nai, untuk menggantikan waktu-waktu tidur yang hilang selama hari-hari sekolah.

Ibu Nai sedang pergi ke rumah temannya siang itu ditemani oleh Tita, otomatis Nai menjadi satu-satunya orang yang sedang berada di rumahnya.

"Siapa sih! Ganggu orang tidur aja," omel Nai.

Cewek itu duduk di tepi tempat tidurnya. Ia begitu mengantuk hingga hampir tertidur lagi, tetapi lagi-lagi bunyi bel mengagetkannya. Sambil ngedumel, ia turun ke lantai bawah dan membuka pintu. Ia mendapati seorang laki-laki berumur dua puluh tahun berdiri di depannya dengan membawa ransel besar di belakang punggungnya.

"Bang Dion!" Pekik Nai seketika, lalu ia segera menghambur ke pelukan abangnya. Tetapi sebelum cewek itu sempat melakukannya, Dion menahan bahunya, membuat Nai heran.

"Siapa nih? Kok Abang nggak kenal?" Dion mengernyitkan dahinya. "Woy, sejak kapan kamu ngelurusin rambut hah? Sejak kapan si Naila jadi feminin gini? Bukan adek aku ini mah."

Dion tertawa, mengacak rambut adiknya itu, lalu segera memeluknya. Nai hanya merenggut karena kata-kata abangnya barusan.

Kakak laki-laki Nai yang bernama Dion adalah anak sulung di keluarganya, ia tengah menempuh pendidikannya di salah satu institut teknologi di Bandung. Meskipun Nai sering dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang sangat cerdas—bahkan diterima lewat jalur undangan—Nai tetap sangat menyayanginya.

"Bang, kok pulang nggak bilang-bilang sih?" Gerutu Nai setelah mempersilakan Dion masuk.

"Bilang kok, sama Mama." Dion nyengir kuda.

"Kok sama Nai nggak?" Nai menyilangkan tangan di dada dan memanyunkan bibirnya seperti bebek.

Alih-alih menanggapi ambekan adiknya, Dion meraih sebuah kotak kue dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada adiknya. "Nih Abang bawa molen kesukaan Nai."

Mata Nai berbinar-binar ketika melihat kotak tersebut dan langsung melupakan rasa sebalnya pada Dion karena pulang tanpa mengabari. Dengan cepat cewek itu membuka kotak berwarna merah marun itu dan menyantap sebuah.

"Nai, kamu belum cerita loh kenapa kamu berubah gini?" Kata Dion sambil mengernyitkan dahinya. "Kamu... Lagi naksir cowok ya?"

Nai hampir saja tersedak, tetapi untungnya hal itu tidak terjadi. Ia berusaha mengunyah dengan benar, dan menelan molennya dengan baik.

"Hah? Nggak lah." Nai membuang muka, dan Dion tahu kalau adiknya berbohong.

"Terserah kamu deh. Pokoknya kalau ada cowok, kenalin ke Abang. Pokoknya harus Abang seleksi dulu," kata Dion sambil memasang tampang galak.

"Bawel ih. Orang nggak kok," sanggah Nai sekali lagi.

"Ya udah deh. Abang ke kamar dulu ya, capek nih mau bobo." Dion berdiri, membawa ranselnya, hendak melangkah ke tangga. "Omong-omong, kamu gendutan. Jangan berhenti lari pagi ya. Ngabisin waktu pagi buat olahraga lebih baik daripada dandan."

Nai tertohok. Abangnya selalu mengetahui banyak hal meskipun cewek itu tak pernah memberi tahunya. Dan saat itu ia bertekad untuk lari pagi lagi—ia benci dibilang gendut.

*

Keesokan paginya Nai mulai berlari pagi lagi, ia kembali bertemu Reyhan yang kini terlihat lebih bugar dan bisa menyamai langkah-langkah Nai. Tidak ngos-ngosan seperti percobaan pertama, kini napasnya sudah jauh lebih stabil. Reyhan bilang, ia terus melakukan rutinitasnya bahkan ketika Nai mengganti waktu di pagi harinya itu untuk berdandan. Cewek itu menyikut rusuknya dengan sebal.

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang