Bab 5

325 51 9
                                    

Nai cuma bisa pasrah saat di jam istirahat ia dipanggil oleh Bu Tiana, guru bahasa Indonesianya yang super galak. Ini bukan kali pertamanya guru berusia kepala lima itu memanggil Nai, tapi cewek itu tidak pernah terbiasa dengan aura gelap yang dimilikinya. Menurutnya, kelas bahasa Indonesia adalah neraka.

"Dev, temenin gue dong please. Gue takut menghadapi orang itu sendirian," pinta Nai, lengkap dengan jurus puppy eyes-nya.

"Aduh gimana ya Nai, bukannya gue nggak mau nemenin lo. Tapi habis ini gue ada rapat yang nggak bisa ditinggal." Devina menjawab dengan nada menyesal. "Mungkin lo—"

"Dev buruan ayo." Reyhan tiba-tiba muncul dengan kerutan di dahinya, artinya ia sedang serius dan tak mungkin Devina dapat menunda rapatnya lagi.

"Tuh kan, Tuan Reyhan sudah menunggu. Bye!" kedua sejoli itu langsung pergi meninggalkan Nai yang cuma bisa menghela nafas.

"Oke... Siap-siap menghadapi ratu ular," gumam Nai pasrah.

Dirinya sudah berada di dalam ruang guru ketika sepasang mata elang milik Bu Tiana menatapnya tajam. Menurut Nai, tatapan wanita itu begitu menusuk, sampai-sampai ke dalam jiwanya.

"Naila, silakan duduk," ucap wanita itu mempersilakan, dengan suara khasnya yang dingin.

"Ada apa ya Bu manggil saya?" tanya cewek itu dengan hati gelisah.

"Saya yakin kamu tahu apa yang mau saya bicarakan," ucapnya sambil membenarkan letak kacamata plusnya. "Ulangan kemarin nilai kamu jeblok, Naila. Empat puluh. Terendah di kelas. Terendah kedua seangkatan."

"Ya, saya tahu kalau soal itu." Nai mengalihkan pandangannya dari guru itu, tatapannya benar-benar mengintimidasi.

Bersamaan itu, Fadil masuk ke ruang guru dengan membawa setumpuk buku tulis di tangannya. Ia sebagai ketua kelas bertanggung jawab untuk membawa buku-buku itu untuk diletakkan di meja guru matematika. Ia baru saja mau keluar dari ruang guru ketika sesuatu tertangkap oleh matanya: sesosok cewek berambut mirip brokoli sedang duduk di depan meja Bu Tiana. Karena iseng, ia mencoba untuk menguping.

"Ibu udah ngasih kamu tugas untuk berlatih, tapi dari kelas sepuluh kamu nggak ada progress sedikitpun. Kamu bener-bener ketinggalan dari temen-temen kamu, Naila." Bu Tiana terlihat putus asa dengan murid perempuan yang ada di depannya. Pasalnya, selama dua puluh tahun mengajar ia tak pernah gagal seperti ini. "Apa yang harus saya lakukan sekarang sama kamu?"

"Mungkin saya bisa bantu, Bu Tiana," kata sebuah suara tiba-tiba. Dua pasang mata itu langsung melirik ke sumber suara. Terlihat Fadil dengan cengiran khasnya. "Saya bakal bantu Naila buat dapet nilai bagus. Pokoknya saya pastiin, ulangan selanjutnya dia bisa dapet seenggaknya delapan puluh."

Bu Tiana memandang Fadil selama beberapa detik sambil berpikir. "Kamu yakin, Fadil?"

"Terakhir saya ingat, ulangan kemarin saya dapat nilai tertinggi satu angkatan. Bukan begitu, Bu?" kata Fadil sambil tersenyum sombong pada Nai, sementara yang diberi senyum cuma memutar bola matanya.

"Baik, saya percaya. Secara kamu murid terbaik saya, saya percayakan Naila pada kamu." Nai rasanya mau muntah melihat tampang bangga Fadil ketika dipuji setinggi langit oleh guru bahasanya itu. "Dan kalau Naila bisa dapat nilai setidaknya delapan puluh, saya bakal ngasih kamu extra credit."

Senyum kepuasan tercetak di bibir Fadil. Sebaliknya, Nai merasa apa yang baru saja terjadi merupakan mimpi buruk: menghabiskan waktu dengan orang yang ia benci, mempelajari mata pelajarannya yang ia kamu tidak suka. Mimpi buruk yang jadi kenyataan.

*

Bel tanda pulang sekolah sudah lama berdering, dan kini Nai dan Devina sedang duduk di warung soto ayam di dekat sekolah yang biasanya mereka suka kunjungi di waktu-waktu pulang sekolah.

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang