Bab 7

315 48 16
                                    

Pada hari Minggu sore, beberapa jam sebelum pesta ulang tahun Vinda, Nai sibuk memerhatikan dirinya di depan cermin di kamarnya. Ia telah mengenakan baju pemberian Fadil. Cewek itu mencoba berbagai pose. Tersenyum, menjulurkan lidah, dan berputar-putar seperti orang gila.

"Bisa pas gini ya ukuran bajunya," gumam Nai sambil sekali lagi memutar tubuhnya di depan cermin. "Mana bagus banget lagi. Hmm, gimana ya kalo Devina? Dia suka nggak ya sama baju dari gue?"

Kemarin sebelum pulang ke rumahnya, Nai dan Fadil sempat mampir ke rumah Devina secara diam-diam. Ia cuma meletakkan bungkusannya di depan pintu rumahnya, lalu memencet bel dan kabur sebelum ada yang melihatnya. Kalau kata Nai sih, biar surprise gitu. Di dalamnya, Nai sudah menyelipkan sepucuk surat buat Devina yang menandakan kalau itu pemberian darinya.

Saat Nai masih asyik berpose, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Dinda, ibunya masuk ke dalam kamarnya. Nai jadi malu sendiri.

"Duh anak Mama cantik banget sih," puji Dinda.

"Ih Mama kok nggak ngetok dulu sih, kan Nai jadi malu," rengek Nai.

"Masa sama anak sendiri aja nggak boleh masuk sih, Nai?"

"Tapi Nai kan udah gede Ma, butuh privacy dong." Cewek itu memajukan bibirnya, beda tipis sama paruh bebek.

"Halah sok butuh privacy kamu. Coba kamu inget-inget lagi. Siapa yang kamu minta temenin kalo kamu lagi takut tidur sendirian?" Dinda mengingatkan anak keduanya itu sambil terkekeh.

Nai hanya bisa tersenyum malu pada ibunya sambil menggaruk kepalanya yang sebetulnya tidak terasa gatal. "Ya, itu kan beda persoalan, Ma."

Dinda hanya tertawa menanggapi anak perempuannya itu, lalu kembali memerhatikan penampilan Nai dari atas sampai bawah.

"Kayaknya Mama harus ngelakuin sesuatu buat rambut kamu deh!" Seru Dinda sambil menjentikkan jarinya, seolah ide cemerlang baru saja mampir ke dalam otaknya.

Nai mengernyitkan dahinya. Namun sebelum cewek itu sempat berkata apapun, ibunya sudah mengambil sisir milik Dea di dalam lacinya dan menyuruhnya untuk duduk.

"Ya ampun Nai, kamu nggak pernah nyisir ya?" Tanya Dinda, karena ia mendapat kesulitan saat berusaha mengurai rambut Nai yang rumit bak benang kusut.

"Ngapain," kata Nai. "Bentukannya juga nggak bakal berubah."

"Ya ampun sayang, kamu tuh perempuan. Masa nyisir aja jarang."

"Nggak nyisir juga nggak dosa kan Ma? Santai aja." Kata Nai sembari nyengir walaupun ia tahu Dinda tidak bisa melihat cengirannya karena posisinya duduk membelakangi ibunya.

Dengan usaha ekstra, dan berkat bantuan produk-produk untuk rambut milik Dinda yang Nai tidak mengerti untuk apa, akhirnya ia berhasil mengurai rambut anaknya sehingga terlihat lebih rapi dan tidak begitu mengembang.

"Wah, kamu ternyata rambutnya udah panjang ya?" Ucap Dinda seraya menyisir rambut Nai dengan jari-jarinya. "Selama ini nggak kamu urusin sih, jadi nggak keliatan deh."

"Mana? Nai mau lihat dong!" Nai hendak bangkit dari tempat duduknya untuk bercermin, namun Dinda dengan segera melarangnya.

"Tunggu selesai dulu, biar nanti kamu kagum sama mahakarya Mama," kata Dinda bangga. Nai cuma bisa memutar bola matanya bosan.

Selama beberapa lama, Nai cuma bisa menunggu dengan bosan sambil menggumamkan lagu-lagu favoritnya sementara Dinda sibuk dengan rambutnya.

"Tadaa!" Seru Dinda puas. "Sekarang kamu boleh liat cermin."

Nai berjalan cepat—atau bisa dibilang setengah berlari—ke arah cermin panjangnya. Ia terperangah dengan refleksinya sendiri. Selama ini ia belum pernah melakukan sesuatu pada rambutnya kecuali mengikatnya secara asal-asalan. Dan yang mengejutkan, untuk pertama kalinya ia merasa kalau ia terlihat lumayan cantik.

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang