Bab 18

206 21 4
                                    

Nai berjalan dengan langkah gontai. Hari ini ia tidak datang terlalu pagi. Sudah banyak orang yang berlalu-lalang di koridor sekolah. Pagi ini langkah kakinya tidak menuju ke kelasnya—11 IPA 5—melainkan kelas Jose yang berada di lantai tiga. Biasanya cowok itu—jika tidak terlambat—sudah berada di kelas, di bagian belakang bersama teman-temannya yang tidak jauh berbeda dengannya. Di tempat yang ingin dihindari semua orang kecuali mereka sendiri.

Cewek itu berjalan menuju area belakang. Jose yang menangkap sosoknya langsung melambaikan tangannya dan tersenyum. Teman-temannya segera bersiul dan menyorakinya, membuat Nai jadi malu karena menjadi pusat perhatian satu kelas.

"Hmm boleh ngomong nggak? Di luar," kata Nai.

"Ngomong apa sih? Kayaknya serius amat. Ya udah yuk." Jose menggandeng tangan Nai menuju luar kelas. "Kenapa, sayang?"

"Jose kayaknya mendingan kita..." Rasa gugup menjalari tubuh Nai, terlebih dengan Jose yang menatapnya lamat-lamat. Tetapi ia tetap harus mengatakannya. "Mendingan kita udahan deh..."

"Udahan gimana?" nada bicara Jose tetap lembut, tapi Nai bisa merasakan emosi yang tersirat di dalamnya.

"Ya... Putus."

"Ya udah kalo itu mau kamu. Aku nggak bisa maksain kalo kamunya udah ngerasa nggak nyaman. Sekarang udah mau bel nih, mending kamu masuk kelas. Aku juga mau masuk dulu," kata Jose sambil tersenyum, lalu masuk ke dalam kelas.

Nai tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Lega, tapi ia tidak menyangka kalau akan semudah itu. Ia hendak pergi ketika tiba-tiba ia teringat akan omongan Fadil.

Nai menempelkan telinga kanannya di pintu kelas.

"Dasar cewek sialan!" maki seseorang. Nai tahu betul kalau itu suara Jose.

"Kenapa lagi sih Jo? Kok marah-marah? Kan lo udah menang taruhan." Kini suara teman Jose yang bicara.

Nai sesak napas. Fadil benar.

"Gue diputusin."

"Lah emang lo udah beneran sayang sama dia?"

Jose tertawa. "Ya nggak lah. Cuma harga diri gue sakit nih."

Nai sudah tidak sanggup mendengarnya lagi. Ia tidak dapat membendung tangisnya. Biasanya ketika di saat seperti ini, Nai punya Devina. Tapi kini, keadaannya berbeda.

*

Sepulang sekolah, Nai mampir ke rumah Fadil. Motornya sudah terparkir di garasinya, berarti Fadil sudah pulang. Cewek itu dengan gugup memencet bel. Tak lama kemudian Fadil dengan muka bantalnya membukakan pintu. Nai langsung menghambur ke pelukannya.

"Fadiiil maafin gueee!" Nai menangis tersedu-sedu.

Fadil yang baru bangun langsung kaget dibuatnya. "Eh apa-apaan nih?"

Nai melepas pelukannya, dan mengusap air matanya. Sekarang rasa malu baru merayapinya.

"Ternyata Jose emang berengsek. Maaf gue malah marah-marah sama lo. Dan maaf selama ini gue jahat sama lo gara-gara yang waktu kelas 9 dulu itu. Padahal selama ini lo baik. Gue yang jahat." Nai menggosok-gosok matanya yang sembap.

Dalam hatinya Fadil sangat gemas melihat Nai yang seperti anak kecil dan ingin segera menarik cewek itu ke pelukannya. Tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia sudah malu karena pernyataan perasaannya yang tidak disengaja kemarin.

"Ya udah nggak apa-apa nggak usah nangis. Malu ih udah gede," kata Fadil dengan gaya sok cool-nya, padahal berdebar setengah mati. "Ya udah masuk dulu yuk. Apa kata abang lo nanti lo sembap kaya gitu."

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang