Bab 13

203 37 10
                                    

Tak terasa UAS sudah dimulai. Tidak ada hal yang menyenangkan dari minggu UAS—kecuali pulang cepat. Devina yang sudah lelah pulang sore karena rapat OSIS bisa bernapas sedikit lega, walaupun sesampainya di rumah ia harus pulang ke rumah, setidaknya ia bisa meregangkan badannya sedikit.

"Dev!" Reyhan menepuk pundak cewek itu dari belakang.

"Yuk pulang," kata Devina riang.

"Eh maaf gue nggak bisa nganterin lo pulang hari ini, gue harus jemput nyokap di kantor. Sopirnya kecelakaan, dan gue buru-buru banget ini," jelas Reyhan.

"Oh, yaudah nggak apa-apa. Gue nanti telepon Om Yadi aja," kata Devina, mengeluarkan ponselnya untuk mengirim SMS pada sopir keluarganya.

"Beneran nggak apa-apa?" tanya Reyhan memastikan.

"Ih. Kan udah gue bilang nggak apa-apa," gerutu cewek itu pada sahabatnya. "Salam ya buat nyokap lo."

"Ya udah gue berangkat dulu ya. Lo langsung pulang, jangan keluyuran dulu." Reyhan mengacak rambut sahabatnya yang disambut dengan cubitan di lengannya.

"Iya bawel. Udah sana pergi!"

Devina duduk di bangku di bawah pohon sembari mengecek ponselnya. Setelah sekitar setengah jam menunggu, belum ada balasan dari Om Yadi. Sambil menghela napas, ia sempat berpikir untuk naik kendaraan umum, tetapi ayahnya selalu melarangnya. Dia adalah contoh konkrit dari daddy's little girl—walaupun sebetulnya dalam hatinya ia ingin bisa menjadi mandiri.

Cewek yang memiliki kulit pucat itupun memutuskan untuk menelepon Om Yadi. Setelah beberapa detik, sopirnya itupun mengangkat.

"Halo, Om? Jemput saya dong di sekolah."

"Wah maaf saya lagi nganter ibu meeting, Non."

"Oh gitu, ya udah deh."

Devina memutus sambungan telepon. Sekolah sudah cukup sepi karena di pekan UAS seperti ini, rata-rata orang ingin cepat-cepat enyah dari tempat itu.

Seseorang menepuk pundak Devina, cewek itu terlonjak.

"Kok belum pulang, Dev?"

"Eh Axel. Iya nih, gue lagi mikir mau pulang naik apa. Gue nggak ada yang jemput." Ia menarik napas lega ketika mengetahui yang menepuk pundaknya bukan semacam hantu atau sebagainya.

"Ya udah bareng gue aja sih."

Devina berusaha menolak karena tidak enak. Ia beralasan rumahnya jauh dan sebagainya, namun ternyata rumah mereka malah berada di dalam satu perumahan.

"Nggak apa-apa nih?" tanya cewek itu sekali lagi, memastikan.

"Ya ampun, iya nggak apa-apa. Searah ini."

Akhirnya dengan berbagai macam pertimbangan, Devina mengiyakan tawaran Axel. Rupanya setiap hari cowok itu membawa mobil. Sepanjang perjalanan, Devina takut suasananya akan terasa awkward karena mereka memang tidak dekat walaupun mereka sekelas. Namun ternyata Axel bisa meng-handle semua itu.

"Reyhan kenapa nggak nganterin lo pulang?" tanya Axel tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

"Eh? Kok lo tau gue pulang dianterin Reyhan?"

"Siapa yang nggak tahu coba." Axel terkekeh. "Ya tumben aja gitu. Tadi lo udah kayak bocah terlantar gitu."

"Enak aja!" gerutu Devina. "Tadi tuh Rey harus jemput ibunya di kantor, karena sopir ibunya kecelakaan."

"Setahu gue dia rumahnya jauh deh dari rumah lo. Kenapa dia nganterin lo balik tiap hari? Kenapa lo nggak naik ojek atau apa gitu?" Axel mendadak jadi kepoan.

The Tale of a Frizzy Haired GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang