Bel tanda jam pulang sekolah berbunyi nyaring. Devina buru-buru membereskan bukunya dan pergi tanpa pamit. Axel juga begitu. Nai melirik kedua orang itu dengan heran, lalu menatap Reyhan dan menerka-nerka apakah ia akan melakukan hal yang sama.
"Lo mau pergi juga?" tanya Nai bete.
Reyhan menoleh, menggeleng. "Nggak kok."
"Devina kenapa sih Rey? Kok aneh gitu. Nggak pulang sama lo lagi." Nai kembali berpikir. "Hmm, kalian berantem ya?"
Reyhan hanya mengangkat bahu. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Nai. Yang pasti, ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Namun cowok itu merasa bersalah. Nai tidak tahu apa-apa, dia tidak salah apa-apa. Dan kini cewek itu harus berhadapan dengan masalah yang ia sama sekali tidak ketahui.
"Naila bawa motor?" tanya Reyhan mengalihkan pembicaraan, Nai menggeleng. "Mau balik bareng gue?"
"Nggak usah Rey. Hari ini dijemput Bang Dion." Naila terkekeh.
Tak lama, ponsel Nai berbunyi. Nama Dion muncul di layar.
"Nai di mana? Lama banget sih!" omel Dion. "Abang udah nungguin di depan sekolah nih. Capek digenitin sama anak-anak SMA."
"Ih mana Nai tahu Abang udah dateng. Nai masih di kelas. Ini buru-buru turun kok."
"Buruan!"
"Iya iya bawel ah."
Saat Nai keluar, ia mendapati abangnya sedang mengobrol dengan Fadil. Ketika melihat sosok Nai, Fadil menyenggol lengan Dion.
"Tuh udah dateng Nai-nya. Gue duluan ya Bang," kata cowok itu buru-buru pamit, memberikan sedikit senyum pada Nai, lalu segera beranjak pergi.
Satu lagi orang yang bertingkah aneh, pikir Nai. Cewek itu memandang Fadil yang buru-buru pergi. Biasanya cowok itu selalu menyempatkan waktu untuk sekadar menyapa atau mengganggunya, tapi kali ini berbeda.
"Bengong aja. Eh, kamu masih nggak suka sama dia?" tanya Bang Dion. "Atau malah... Udah suka? Dia baik tuh. Gara-gara dia Abang nggak digangguin sama cewek-cewek lagi."
Nai membelalakkan matanya. "Ya nggak lah! Sembarangan aja Bang Dion kalo ngomong."
"Abis ngeliatinnya gitu banget."
"Ya udah Bang, Nai laper. Pulang yuk."
*
Reyhan: Nai nonton yuk.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Nai ketika cewek itu sedang membaca komik sambil berbaring di tempat tidurnya. Tangannya meraba-raba ke sisi kanan tubuhnya, tempat ia meletakkan ponselnya tadi. Cewek itu mengerutkan dahinya sedikit.
Naila: Sama Devina?
Reyhan: Ngga. Ayolah temenin, gue bosen banget nih.
Selama berteman dengan Reyhan, dia tidak pernah nonton berdua dengan Nai saja. Jika tidak bertiga dengan Devina, ya hanya dengan Devina saja. Karena memang kedua sahabat Nai itu seleranya mirip, sedangkan ia berbeda sendiri.
Naila: Nonton apa?
Reyhan: Nggak tau. Liat aja ntar.
Kejanggalan Reyhan nomor dua: tidak merencanakan mau menonton film apa. Cowok itu adalah tipe orang yang hidupnya selalu planned out, bahkan ke hal-hal terkecil seperti menonton film. Nai sangat malas untuk bergerak, tapi melihat ada sesuatu yang janggal, sepertinya Reyhan sedang tidak baik-baik saja.
Naila: Ya udah, tapi jemput gue ya. Gue mager.
Read.
Tidak seperti biasanya, Reyhan tidak banyak bicara. Nai lagi-lagi jadi bingung sendiri dibuatnya.
"Hmm jadi mau nonton apa sih sebenernya?" tanya Nai, memandangi Reyhan yang sedang memandangi poster film, tetapi ia tau betul pikiran sahabatnya itu sedang berkelana entah kemana.
"Terserah lo," kata Reyhan singkat.
Nai menghela napas. Ia melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba saja ia seperti melihat sosok yang ia kenal. Cewek itu menarik-narik kemeja Reyhan agar cowok itu berhenti memandangi poster seperti orang bodoh.
"Rey, itu kayak Devina nggak sih?"
Reyhan seketika menoleh. Cowok itu dapat melihat sosok Devina dari belakang, sedang bergandengan tangan dengan cowok—yang ia tahu persis siapa. Jantungnya berdegup kencang. Sepersekian detik kemudian, ia menyadari ia harus mengabaikan rasa patah hatinya dan membawa Nai pergi secepatnya sebelum terlambat.
"Nai, kita kemana gitu yuk. Gue tiba-tiba males nonton," ucap Reyhan dengan was-was.
"Tunggu ih, orang ada Devina juga," kata cewek itu senang. "Devina!" teriaknya dengan suara khas Nai yang nyaring. "Eh dia lagi gandengan sama siapa sih? Kok gue nggak tahu dia punya pacar? Wah parah nih. Pasti lo udah tahu duluan ya, Rey?"
Reyhan berdoa dalam hati agar Devina tidak mendengar panggilan Nai. Tapi sayangnya, doanya tidak terkabul. Devina menoleh. Begitupun dengan cowok yang berada di sebelahnya.
Senyum Nai memudar. Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Lalu ia menoleh pada Reyhan. Cowok itu dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. Sebelum ia dapat melakukan apa-apa, Nai buru-buru pergi ke luar.
"Naila!" panggil Devina dengan khawatir. Tetapi sejujurnya, ia juga tidak tahu apa yang harus ia katakan pada sahabatnya itu. Dirinya tahu betul kalau ia salah. Tetapi di sisi lain ia juga sangat menyukai Axel—dan ia tahu cowok itu juga menyukainya.
"Sekarang kita harus gimana?" kata Reyhan. Bukan seperti sebuah pertanyaan, tapi lebih seperti "liat kan apa yang lo udah perbuat?"
Lalu Reyhan pergi menyusul Naila, meninggalkan Devina yang merasa bersalah dan Axel yang bingung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of a Frizzy Haired Girl
Teen FictionNaila adalah cewek berambut keriting bak brokoli yang amat cuek dan cenderung nggak peduli sama pendapat orang lain tentang rambutnya yang menarik perhatian itu. Namun apa yang terjadi jika seseorang yang ia suka mengejek rambutnya? Semuanya berubah...