Satu; Bencana

115 12 21
                                    

"Neo, gue seneng deh kita bisa bareng terus," seruan seorang gadis berhasil membuat Neo mendengus berkali-kali.

Gadis perawakan mungil dengan senyum manis setiap kali beersama Neo hari itu seharusnya terlihat sungguh menggemaskan, namun bagi sosok pemuda berbalut hem almameter khusus untuk sekolah Bhakti Bangsa itu justru terlihat begitu menyebalkan. Tengil. Blak-blakkan. Hampir membuat Neo gusar acap kali gadis itu menghampirinya.

Ntah hampir puluhan kali Neo menolak keras keberadaan gadis itu dengan bentakan, tapi tetap saja, kekeras kepalaan yang sudah mendarah daging itu sangat sulit dihilangkan.

"Lo jauh ah, gue risih!" pemuda itu melotot. Hendak menjitak kening gadis itu di saat dengan santai menggandeng lengannya dengan wajah polos tanpa dosa.

Menghela. Gadis itu justru semakin mempererat gandengannya. "Astaga Neo. Apa lo bilang? risih?" gadis itu berdecak. "Padahal gue ini termasuk cewek idaman para lelaki jaman sekarang. Dan lo bilang lo risih? apa kata dunia."

"Bodoamattt!" hardik Neo cepat. "Cepet lepas ah, ngga enak di lihatin orang-orang, Nian."

"BODOAMATTT!" gadis itu berseru, mengulangi nada bicara Neo yang sedikit lebih keras. "Udah, jangan kebanyak bacot. Yuk cepet," gadis itu mulai menarik lengan Neo kuat. Menghentak jika sesekali Neo melawan.

Menghela. Sepertinya sebuah bencana yang seharusnya Neo hindari itu akan terjadi sebentar lagi.

Sementara Neo sedang meratapi nasib, langkah pendek Nian akhirnya berhenti tepat disebuah ruangan terpisah yang cukup lebar berisi jurnal-jurnal dan juga barang-barang pendakian.

Mengrenyit. Neo mulai menelusuri. "Sekre pecinta alam?"

Nian mengangguk antusias, lantas pandangan matanya mengedar mencari-cari sosok yang menjadi tujuan utamanya sedari tadi.

Lalu sosok bertubuh jakung dengan kulit sedikit gelap berhasil tertangkap oleh penglihatannya. Sebuah sunggingan lebar terukir indah dikedua sudut bibirnya. "Kak Vano!" panggil Nian.

Revano Genida, ketua organisasi pecinta alam yang kini masih dalam masa jabatannya, wajah tegas namun tetap terlihat ramah selalu menjadikan nilai plus dalam kepribadiannya. Kemampuannya dalam mendaki dan apapun yang berhubungan dengan alam membuat dirinya kini menjadi sosok penting dalam setiap kegiatan yang di buat oleh organisasi pecinta alam.

"Lo tunggu disini aja," perintah mutlak Nian sebelum lanjut berjalan mendekati Vano yang kali ini memandangnya dengan sorot ramah.

Neo mengendikkan bahunya lantas bersedikap dada, bersikap acuh dan membuang wajah ke arah lain merasa rugi karena waktu berharganya terbuang hanya karena si makhluk tengil yang kini hinggap lalu menjadi parasit di dalam kesehariannya.

Sementara itu, gadis dengan surai yang terikat rapi itu berjalan mendekat kearah Vano yang sedang membereskan barang-barang yang berserakan di atas mejanya. "Kak Vano, nanti ada acara buat organisasi pecinta alam ya?" tanya Nian begitu sampai di hadapan Vano.

Pemuda itu mengangguk lantas tersenyum ramah. "Iya, kenapa? lo mau ikutan juga?"

Nian mengangguk antusias, "Hehe, iya kak," sebuah cengiran kikuk khas Nian saat itu membuat Vano mengrenyit heran. "Hng, Kak.."

"Ya?" Vano menjedanya sebentar. "Lo kenapa? kebelet boker?"

Nian tertawa. "Bukan," gadis itu melirik kearah Neo sebentar lalu mengarahkan telunjuknya agar Vano sedikit mendekat. "Sini.."

NEONIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang