Brak.
"Astaghfirullah!" Neo terpelonjat kaget dikala seorang gadis masuk tanpa permisi.
Diujung sana gadis itu memasang cengir menyebalkan yang membuat Neo ingin menepuk jidat berkali-kali.
Berdecak. Neo mendengus lantas menatap sengit Nian, "Lo mau masuk kamar orang aja rusuh banget kampret!"
"Kan mau nyari tempat berlindung, muehehehe."
Neo memutar bola mata, ia menyentakkan kepala sekali lalu kembali fokus dengan ponselnya. Sempat ia berkata, "Ya udah, masuk, jangan lupa tutup pintunya."
"Oke, Pak bos!" Nian mengancungkan jempolnya mantap. Ia menutup pintu cepat lantas berlari menuju ranjang besar Neo hendak meloncat dengan massa tubuhnya yang kurang lebih seberat 50 kg.
"WEITS, DIAM DI TEMPAT!" dengan tatapan otoriter, Neo menghentikan aksi gila Nian yang akan memporak porandakan kasur kesayangannya.
Nian memeberenggut, ia menghentikan langkahnya lantas berdiri dengan wajah melas, "Kenapa lagi sih, gue itu mengantuk, pengen tidur."
"Eh, kucrut, sumpah ya, lo itu enteng banget ngomong pengen tidur di sini. Gue ini cowok, punya malu dikit kek," Neo menyahut sinis. Ia tak habis pikir jika gadis itu mudah sekali menyebutkan kalimat frontal seprti itu tanpa beban.
Sebuah sunggingan lebar meghiasi wajah Nian, ia terkikik pelan lalu berkata, "Gue punya malu, Neo. Tapi kalau gue terus mempertahankan rasa malu gue, mana bisa gue menyatakan cinta terang-terangan dihadapan lo setiap waktu. Gue nggak mau ambil resiko kalau lo diambil sama cewek lain, asal lo tahu."
Neo tercenung. Sesaat setelahnya seulas senyum kecil menghiasi wajahnya, ia menggeleng sebentar. Gadis itu selalu saja mampu membuat dirinya tersetrum kaget hanya dengan kalimat-kalimat ajaib yang kerap kali ia lontarkan, dia bahkan tak memikirkan apa pun setiap kali ia berbicara. Sungguh, Neo bahkan tak bisa berkata apa pun selain menatapnya terperangah dengan gemas.
Menghela, Neo berkata, "Ya udah, lo tidur di sini, gue nanti tidur di sofa."
"Kenapa nggak di kasur aja, kita bisa buat batasan, kan," Nian berbicara sambil melangkah mendekat pada sisi kanan kasur, "Gue tidurnya nggak sambil ngorok kok, suer," lanjutnya lagi dengan mengangkat kedua jarinya membentuk huruf 'V'.
Ya emang, tapi takutnya gue yang hilang keimanan, kampret!, Neo membatin keras.
"Udah jangan banyak bacot, sana tidur katanya ngantuk," titah Neo cepat, ia masih sibuk memainkan ponselnya sedikit serius.
Nian terdiam, daerah strategis yang selalu membuat ddirinya antusias untuk berlama-lama dikamar Neo adalah kasurnya yang menghadap tepat kearah luar jendela, langit gelap dengan kerlipan ribuan bintang serta bulan membuatnya nyaman. Pikirannya melayang kemana-mana, dadanya disesaki angin malam, perih menjalar dikedua bola matanya. Sebegini besarkah efeknya? ketakutan yang meraja lela dalam setiap hitungan detik yang dirinya ambil, membuatnya semakin hilang dalam sebuah keraguan.
Hingga sebuah helaan berat terdengar dari bibirnya. Neo yang sedang asik dengan akyifitasnya pun refleks menoleh lalu mengrenyit heran.
"Bulannya bagus ya," gumam Nian samar. Lalu menoleh, Neo terkesiap saat melihat sorot lemah kedua bola mata gadis itu. Dengan lirih dapat Neo dengar gadis itu berkata, "Gue takut."
Neo menggigit bibir bawahnya dalam, ia menelan salivanya susah, secara tidak sadar, ia menggeser tubuhnya lalu mendekap gadis itu dalam sunyi. Dia tahu setakut apa gadis itu sekarang, dia selalu menjadi sosok periang tanpa beban yang hanya bisa menyembunyikan lukanya dibalik topeng abadi yang melekat pada wajahnya. Sampai malam hari, baru topeng itu bisa terlepas, menampilkan sosok menyedihkan gadis itu dengan segala beban yang ia bawa seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...