Matahari masih tidak menampakkan diri, terus bersembunyi di balik tebalnya awan-awan pagi. Tujuh orang sahabat, dengan watak berbeda-beda, juga impian yang berbeda-beda, kali ini berdiri tepat di atas gedung sekolah yang sama mereka tempati. Dengan kaos olahraga, juga keringat tipis yang menyusur di tepi pelipis mereka.
Neo memejamkan mata, mencoba menetralkan perasaan yang hendak membuatnya gila.
Kiera tersenyum hangat, ekor matanya melirik pemuda jakung yang saat ini rela untuk terus berada di dekatnya.
Vano tak bereaksi, namun dari garis wajahnya tampak sebuah sinar terang yang memancar sebuah kebahagiaan.
Leo memejamkan matanya, menghirup dalam-dalam oksigen, belajar untuk menjadi lebih dewasa pilihannya saat itu.
Hasina memandang jauh, terkesima atas pemandangan yang tersaji di hadapannya. Juga dengan rasa aneh yang mencoba mendobrak hatinya.
Terreo diam, seperti biasa, wajahnya nampak kelabu. Namun, ia bersyukur, setidaknya selama beberapa hari tak ada masalah yang begitu besar.
Lalu..
Nian, gadis itu berkaca-kaca, jemarinya menaut cemas. Berharap setelah ini, tak ada lagi ketakutan, cukup ia dan perasaannya yang terluka. Tak ada yang lain.
Dalam hening kala itu, walau tak saling berbicara, mereka mengetahui sesuatu, bahwa mereka tak sendiri.
Karena itu lah kenyataannya.
Sahabat memang tak pernah bisa menandingi apa pun.
"Guys," Nian memanggil, membuat yang lainnya menoleh. "Kayaknya, banyak nungguin kita di depan sana," ucapnya sendu, memandang jauh.
Tersenyum, Hasina beranjak, ia dengan cepat merangkul Nian erat. "Lupain itu dulu, jangan rusak momen bagus ini dengan topik seperti itu, oke."
Pagi itu, rasanya, mereka ingin waktu berhenti sejenak. Biarkan perasaan hangat ini bertahan sebentar saja.
Namun mereka tak tahu, bahwa sudah ada rencana besar yang menunggu mereka di penghujung malam nanti, yang bahkan tak mengijinkan mereka bersama lagi.
Mungkin.
N E O N I A N
"Hari ini, kalian akan melakukan observasi untuk keperluan sekolah," guru berseragam itu berdiri tepat di atas mimbar, memandang datar murid-murid yang saat itu berpeluh dengan mata menyipit karena terii matahari yang menyengat.
Tapi..
..Anehnya.
"KENAPA CUMA KITA BERTUJUH, PAK!?" Leo histeris, ia melotot tak percaya, kenapa hanya ada dirinya dan sahabat-sahabatnya.
Kiera tersentak, ia menjitak kepala Leo lumayan keras. "Goblok, gue kaget monyet!"
"Kiera, gue itu cuma kaget. Yakali, observasi kayak gini cuma kita bertujuh, kan perjanjiannya ada beberapa kelas," keluh Leo, keningnya berlipat bibirnya melengkung kebawah dengan keringat yang masih membanjiri keningnya.
Vano mengangguk. "Iya, Pak. Kenapa hanya kami bertujuh?"
Guru berkumis itu menghela, sorotnya melayu namun sebuah sunggingan ringan nampak di sana. "Lakukan saja," jeda sebentar. "Kalian bisa cari tahu semuanya dengan terus memecahkan masalah. Dari sana observasi kalian di mulai. Saya pergi dulu."
Wush.
Hilang.
Apa?
...
"ASTAGA!? DEMI APA, PAK GURU BISA NGILANG GITU AJA!?" Leo panik, wajah pemuda itu berubah merah, demi apa pun ia kaget setengah mati. Seolah-olah ia baru saja di jungkir balikkan dari atap gedung berlantai tujuh puluh.
Nian membelalak, ia sama kaget dengan kawan yang lainnya. Wajah gadis itu memucat, mengapa semua menjadi ghaib seperti ini? Ia butuh penjelasan. "Gue.. Nggak salah lihat, kan?"
"LO NGGAK SALAH LIHAT!" Leo rusuh, ia megap-megap dangan mata melotot merah. "Wah, ini nggak bener, sumoah demi ini nggak bener," pemuda itu berkacak pinggang, berbalik hendak pergi meninggalkan kawannya. "Gue pulang, gue nggak kuat."
Dahi Kiera berkerut, ia mendengus lalu menarik kerah leher Leo kuat. "Lo apaan sih, maksudnya apa," wajah gadis itu memerah. "Nyerah apa maksud lo!"
"Gue cape!" Satu gentakan tersebut mampu membuat Kiera mundur selangkah. Cengkraman yang awalnya kuat itu melonggar. "Gue setiap malam harus nerima teror nggak jelas, gue diem, gue nggak mau ceritain semua ke kalian. Tapi hari ini menurut gue terlalu mustahil."
Bugh.
Satu pukulan keras berhasil membuat Leo terjungkang ke belakang. Neo muak, ia maju dengan garis wajah tak suka, napasnya tak beraturan. "Lo kira lo doang yang kena teror. Gue juga bangsat!" Sorot kecewa Neo membuat Leo tertohok. "Di sini yang menderita bukan cuma lo doang! Tapi kita semua!"
Nian melangkah, gadis itu menarik bahu Neo pelan. Menoleh, di dapatnya sorot getir di sana. "Jangan gitu," tersenyum, Nian kembali memasang wajah yang selalu di benci oleh Neo. "Leo, kalo lo mau pulang nggak papa, gue nggak tahu kalo lo di teror juga, maaf udah buat lo menderita. Mungkin gue emang nyusahin, tapi makasih buat tawa yang selalu bisa ngebuat kita semua bahagia walau sedang berada di posisi sulit," lantas jatuh sudah buliran bening yang sudah tertahan semenjak awal itu. "Lo boleh balik, Le."
Leo tercenung, semua memandangnya dengan sorot sulit di artikan. Biasanya, ia selalu mendapat sorot menyenangkan, namun tidak kali ini. Mungkin Leo keterlaluan, tidak, ia memang sangat keterlaluan.
N E O N I A N
Leo sudah mengambil langkah yang salah.
Membuat sahabatnya terluka, bersikap kekanakkan hanya karena rasa jenuh. Tapi Leo juga lelah, ia hanya ingin merasa sedikit bebas, tidak terbelenggu oleh ketakutan yang setiap malam membuatnya selalu merasa hampa.
Menghela, Leo pejamkan mata, merasakan semilir angin yang menerpa. Berbalik, lorong sepi, tak ada kehidupan selayaknya sebuah sekolah. Kening Leo berkerut, ia mulai merasa was-was, tanpa di suruh pun langkah besarnya itu kembali menyesuri sambil berlari begitu kencang.
Ia baru ingat akan sesuatu, suatu hal besar yang seharusnya tak boleh dilakukan.
Shit, batinnya mengeluh.
"NEO!" Teriak pemuda tersebut kencang. "NIAN, HASINA, KIERA, VANO, TERREO!" Nafasnya memberu, kembali keringat membasahi kaos olahraganya. "Lo semua di mana!"
Ternyata benar, rasa kehilangan itu memang seperih ini. Rasanya seperti tak memiliki nyawa, jiwa yang terenggut menyisakkan tubuh dengan detak jantung tanpa kehidupan. Leo benar-benar merasa bodoh, di saat seperti ini, tidak sehafusnya ia bersikap egois.
Lu bener-bener goblok, makinya sendiri. Berusaha meredam segala emosi terhadap kesalahan yang telah ia buat.
Beberapa meter di depan sana, lapangan utama tempat mereka tadi berkumpul sudah terlihat, sunggingan lebar menghasi wajah Leo.
Satu langkah lagi..
Lalu,
Grep.
****
Halo
Apa kabar?
Thankyou for reading
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...