Mereka berdua berjalan bersama, dengan Nian yang berada di depan dan Neo yang sibuk memperhatikan di belakang.
Punggung ringkih itu terlihat rapuh.
Tapi dirinya pun sama rapuhnya.
Sesuatu mendesak ingin keluar dari ujung kelopak matanya, dadanya nyeri seolah mencoba mengirisnya.
"Nian.." tanpa sadar Neo menggumam, membuat gadis di hadapannya menghentikan langkahnya dan berbalik. Gadis itu terbelalak kaget.
Neo..
Setengah tubuhnya berwarna hitam..
Dan sosok berjubah hitam itu tidak berada jauh dari posisinya.
Gadis itu meraih pundak Neo cepat, mendekapnya hangat. Jemarinya mengelus pundak Neo perlahan. "Lo kenapa?"
Neo mendongak, ia menatap gadis di hadapannya penuh luka. "Jangan.."
Nian mengulum bibirnya. "Maksudnya?"
"Jangan menyerah sama gue!"
Neo kacau. Wajahnya begitu pucat, matanya yang merah mencoba menyorot dalam, bibirnya bergetar, ia bahkan tak sanggup berbicara lebih lagi.
Dan pada akhirnya, Neo memilih untuk menangis, menuangkan segala pilu yang coba ia tahan sejak tadi, ia terus menggumam tidak jelas, mengeratkan cengkraman pada lengan Nian. "Ja-jangan tinggalin gue, gue juga sa-sayang sama lo," tandas Neo terbata.
Neo mengabaikan segala ego yang selama ini membentengi hatinya, seluruh rasa yang lama ia pendam kini ia luapkan.
Nian membisu. Ia kehabisan kata, sesuatu seolah menghalangi tenggorokannya.
Mengulum bibir.
Baginikah rasanya mengetahui bahwa perasaannya telah terbalas?
Ah, melegakan.
Sampai rasanya tidak ada lagi yang harus Nian lontarkan.
"Neo.." jemari Nian terulur, meraih wajah yang tersirat luka itu perlahan, takut akan melukainya lagi. "Maaf," Nian menggigit bibirnya. "Maaf udah ambil keputusan kayak gitu, tapi gue udah terlanjur memilih.."
Nian menunduk dalam, isakan kecil sesekali terdengar. "Gue nggak akan balik lagi.." suaranya mengundang sembilu, merobek ulu hati Neo lebih dalam lagi. "Maaf Neo. Gue udah terlanjur telan mentah-mentah sarkas lo, rasanya sakit asal lo tahu?"
Nian melepas jemari yang menelangkup wajah Neo. Ia menyeka air matanga sendiri. "Gue seneng akhirnya gue tahu kalau lo juga sayang sama gue," jeda sebentar. Nian menarik napas dalam. "Tapi lo terlambat.. Gue rasa emang seharusnya kita temenan aja. Seperti yang selalu lo suarakan dengan gentakan keras sama gue," Nian menangis keras.
Mengapa?
Saat Nian sudah melepas semuanya..
..perasaannya justru terbalas.
Terlebih lagi, ia tidak bisa menarik kata-kata yang terlanjur terucap.
Berbeda cerita dengan Neo.
Pemuda itu menatap hampa, kekosongan terbesit di dalam pandangnya. Dekedar berkedip pun ia tak mampu, tubuhnya mati rasa, mendengar setiap kalimat yang Nian ucapkan hanya akan mengahancurkan dirinya perlahan.
Tapi Neo sadar, apa pun yang Nian lakukan saat ini adalah murni kesalahan dirinya sendiri.
Ia yang terlalu sering mencipta ruam dalam hati Nian, membuat gadis itu menangis tiap mendengar kalimat sadis yang dirinya sendiri ucapkan. Bersikap dingin setiap gadis itu menebar senyum hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...