Langkah cepat Neo membuat Hasina, Vano, Kiera dan Leo mengrenyit heran. Wajahnya yang tak bersahabat itu menyiratkan satu kemarahan besar seorang Agneo Dallena.
Dengan nafas yang memburu, Neo mengambil tasnya lalu bangkit hendak pergi meninggalkan kafe tersebut.
"Yo, lo kenapa?" Vano yang berada didekatnya pun mencegah pergerakan Neo.
"Lepas!"
"Yo, Nian gimana? dan kenapa lo jadi emosi gini?" Hasina ikut angkat bicara.
Mendengus, Neo menatap satu-satu kawannya berang, "Tanya aja sana sama orangnya! gue mau pulang!"
Semua tertegun, Neo tampak lebih menyeramkan dari biasanya. Kerutan serta urat-urat yang muncul di dahinya memberi sinyal untuk tidak mencegahnya lebih jauh lagi.
Neo berbalik lalu mengambil langkah besar, kakinya yang panjang itu memudahkan dirinya untuk mencapai pintu utama dengan cepat.
Jemarinya mendorong pintu dengan keras sehingga saat tertutup menimbulkan suara besar yang mendominasi ruang hening tersebut.
BRAK.
Kedua bola matanya menampilkan satu kilatan amarah yang sangat kuat.
Dengan tergesa ia berjalan meninggalkan tempat tersebut, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Gue.. bukan itu maksud gue," tutur Neo menyesal.
Kiera menghela, tatapannya kali ini mulai melunak, lalu menepuk bahu pemuda itu dua kali, "Yo, mungkin maksud lo baik, tapi seenggaknya lo kontrol kata-kata lo itu. She is a girl, although she always look like she can approve that all. But, must you remmember, she has a sensitive place on her heart."
Mengangguk, Neo merasa bersalah atas apa saja yang telah ia katakan, "Gue cuma kelepasan, semua yang gue katakan itu emang udah tersusun rapi diotak gue, mau nggak mau itu lah yang akan keluar."
"Tapi nggak seharusnya lo kayak gitu!" Hasina menatap sinis Neo, "Lo itu kadang keterlaluan! learn to be sweet boys can't you?! Nian itu punya rasa sama lo, seenggaknya hargain perasaan dia. Emang benar kata Terreo, you're an losers man ever!"
Neo hendak membalas, namun lidahnya terasa begitu kelu sehingga sulit hanya untuk berkata-kata. Hanya helaan nafas yang mampu menjawab semuanya, Neo tau ini semua memang salahnya.
Kiera mengelus punggung Hasina pelan, "Santai, Sin. Jangan emosi gini."
"Santai gimana!? gue juga kalau jadi Nian udah pasti gue tinggalin ini cowok jauh-jauh hari!" kalimat menusuk itu mengiris setiap senti ulu hati Neo. Hasina tersenyum miring, memandang kesal pemuda yang sedang menunduk merasa bersalah seperti itu, "Lihat? kalau udah kayak gini baru lo menyesal, stupid."
"Hasina, stop, be quite please," Leo menyela cepat, tak membiarkan pertengkaran ini berlanjut lebih jauh lagi, "Lalu apa yang mau lakukan setelah ini?"
"Pergi keluar dan minta maaf," kali ini bukan suara Neo yang terdengar, melainkan sebuah suara berat khas milik Vano yang saat itu berjalan mendekat dengan segelas coklat hangat yang sudah ia beli terlebih dahulu sebelum menuju meja bundar berisi 5 orang manusia yang sibuk berdebat sedari tadi.
"Vano?" Kiera mengrenyit heran.
"Dari masalah itu, seharusnya Neo lari keluar lalu minta maaf langsung sama Nian," Vano berbicara tanpa menggubris ucapan Kiera.
"Eh, lo tahu dari mana?"
Vano menarik kursi kosong disamping Neo lalu mendudukinya, ia menghela sebentar, "Gue udah di sini 15 menit yang lalu, dan mengantri sebelum ke meja kalian," Vano menyeruput coklat hangatnya lalu berkata, "Dan suara kalian yang berdebat itu gedenya ngalahin suara toa masjid."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...