Flashback On.
Dulu, sekitar 2 tahun lalu, tepat di mana Neo mengalami trauma berat. Tentang sebuah kehilangan, yang mana, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan besar di jalan Tol. Kala itu, Neo benar-benar rapuh, terasa sangat tipis, hingga serasa akan hancur jika tersentuh sedikit saja.
Neo kacau, mengurung diri selama hampir seminggu. Kadang juga, raung tangisnya bisa Nian dengar jelas setiap ia mengantarkan makan malam yang selalu ia letakkan di depan pintu.
Pedih, bahkan Nian belum bisa menyembuhkan luka Neo saat itu. Ia terasingkan dari dunia Neo, benar-benar menjadi sosok lain bagi Neo saat itu.
Hingga hari di mana Neo memberanikan diri melangkah melewati zona nyamannya. Beranjak dari kasur, membersihkan diri, dan menuruni anak tangga menuju meja makan. Yang saat itu membuat Nian terkejut bukan main.
"Em-Hay?" Nian menyapa ragu, setelah mengurung diri sekian lama Neo terlihat sedikit berbeda.
Ia sungguh terlihat sangat dingin.
Bahkan sapaan Nian hanya dibalas tatapan singkat. Sakit, Nian meremat rok sekolahnya kuat, berusaha baik-baik saja walau saat itu hatinya kontan terluka.
Padahal, Nian sudah menanti hari itu. Hari di mana Neo mau kembali menemui dunia luar dan menjadi pribadi hangat seperti biasa. Namun dugaan Nian sedikit melenceng, Neo memang benar beranjak dari tembok pembatas yang ia buat tetapi bedanya ia kembali dengan sosok yang benar berbeda, ia menjadi sedikit gelap dengan tatapannya yang kosong itu.
"Lo ketinggalan banyak pelajaran. Ini temen lo minjemin buku catatan, buat bahan belajar." Nian menggigit roti berisi selai coklatnya lalu menelannya. "Yah.. Bukan minjemin sih, lebih tepatnya gue maksa supaya di pinjemin," lanjut gadis itu dengan senyum hangat.
Neo memandang buku itu hampa, ia hanya mengangguk lalu memasukkannya ke dalam tas.
Sehabis menghabiskan sarapan, mereka berangkat menuju sekolah menggunakan mobil pribadi milik keluarga Nian, dengan hening yang menyiksa juga suasana kabung yang mencengkam.
Setelah hari itu, tiada lagi kata semangat dalam raut wajah Neo. Pemuda itu terus-terusan berdiam dalam suram tidak berniat sekalipun bangkit dan mencoba menjalani hari seperti sedia kala.
Hingga saat di mana mereka sama-sama terjebak dalam derasnya hujan, yang memaksa mereka untuk menunda perjalanan kembali ke rumah setelah membeli beberapa keperluan rumah.
Menghela berat. Nian menatap langit kelabu, ia menggigit bibir bawahnya kuat. Menoleh, ia menatap Neo yang sedang menengadahkan tangannya sedikit agar terkena jatuhnya air hujan.
"Neo, ikut gue," gadis itu menarik lengan kanan Neo sepihak. Membawanya ke sebuah gang sempit yang lumayan sepi.
Menatap aneh. Sebelah alis Neo terangkat. "Apa?"
Nian menunduk, memutuskan untuk mengepal tangannya sesaat sebelum mendongak dan menatap netra gelap Neo yang benar-benar kosong.
"Lo, kenapa jadi pengecut gini?" Suara Nian bergetar. "Kenapa lo harus jadi sepengecut ini!?" memekik, ia menatap Neo terluka. Bukan maksud hati untuk menyinggung perasaan Neo, tapi ia juga tidak tahan di diamkan terus menerus seperti ini.
Memejamkan mata, Neo menghela berat. Ia menyimpan jemarinya dalam saku, manatap penuh makna gadia di hadapannya. "Gue.. Cuma berasa nggak ada gairah buat hidup lagi."
Sesenggukan. Nian kembali membeo dengan terbata. "Ke-kenapa? Hiks," gadis itu menyeka air matanya. "Jangan gini, Neo. Lo itu bisa bagi luka lo sama gue. Gue ngerti semuanya nggak gampang, apalagi kehilangan orang tua lo. Gue juga pasti bakal kayak lo, dan sesakit apapun itu gue pasti nyoba buat ikhlas dan nerima semua. Nggak kayak lo yang lebih milih tenggelam sama hampanya hidup lo ini. Ayo bangkit, Yo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...