Empatbelas; feeling that hurt

19 2 16
                                    

Menghela. Sorot mata sendu itu selalu menyiratkan suatu hasrat ingin menyerah tetapi tetap harus berjuang. Setelah kejadian beberapa waktu lalu, Nian masih tak bisa melupakannya, ia takut sekaligus khawatir.

"Nian, lo mau pesan apa?" saat ini Hasina memanggilnya ntah untuk yang keberapa kalinya.

Tersentak. Nian menoleh lantas tersenyum kikuk, "Hot chocolate."

Kedua bola mata Hasina menyipit, merasa curiga. Namun, setelahnya ia mengendikan bahu lalu beranjak hendak memesan apa yang kawan-kawannya pesan.

Saat ini, mereka sedang berada di kafe dekat sekolah. Sekitar 15 menit lalu mereka tiba dengan aman, sempat mereka berbincang dan memutuskan untuk tidak langsung pulang namun beristirahat sebentar, sekedar menghilangkan rasa penat. Vano yang bertugas sebagai ketua panitia pun masih harus mengurus beberapa masalah lalu akan menyusul sesegera mungkin.

Dan di sini lah mereka, duduk bersama dengan aura yang berbeda-beda. Tas-tas ransel segede geban mereka geletakkan begitu saja, yang mereka perlukan saat ini adalah bersantai dan memikirkan satu masalah besar yang akan segera menimpa mereka, bukan mereka, hanya Nian.

Namun, tahukah kalian arti sebuah pertemanan? di saat salah satu tertiban suatu masalah besar, bukan berarti hanya dia sendiri yang harus menyelesaikannya, tapi di sana lah saat yang tepat, membuktikan siapa yang pantas dianggap sahabat atau teman.

Neo yang sedari tadi asik memperhatikan gadis itu pun menaikkan sebelah alisnya, lalu berkata, "Lo kenapa?"

Semua pandangan terpusat pada Neo lalu setelahnya berpindah tat kala melihat arah pandang pemuda itu. Seorang gadis yang tidak lain, tidak bukan adalah Nian sendiri.

Menoleh, Nian menatap terkejut pandangan Neo. Dalam dan menelisik, lalu cepat-cepat ia putuskan dan berkata, "E-emang gue ke-kenapa?"

"Oy, asal lo tahu, lo itu nggak pintar bohong, Yan," ejek Leo tiba-tiba.

Nian memberenggut dengan bibir yang ia kerucutkan, "Bohong apaan coba? nggak, gue nggak papa."

"Liar, you're an stupid liar. Lo mau berlagak seolah lo nggak papa, padahal bola mata lo itu terus bergerak gelisah," suara Neo kali ini pelan dan sehalus beludru, namun sorot matanya mengandung satu ketegasan yang membuat Nian tak sanggup berbicara.

"Neo, kalimat lo ada yang sedikit halus nggak sih?" Kiera kontan berkomentar, bagaimana tidak? Neo berbicara dengan nada sarkasme cenderung mendikte, ya mungkin Nian merasa tidak masalah namun bagi Kiera sendiri itu sangat tidak baik.

"Nope. What's wrong? i just tell the fact's right."

Mengehla, Kiera menatap sinis Neo, "Tapi cara lo itu salah, i think you're too profuse that much. Kesannya bukan peduli, tapi mendikte."

"Udah, Kier, Yo. Lo berdua jangan emosian gini, nggak baik. Lo juga, Neo, perkataan lo dihalusin lagi, biar keliatan nggak nyolot," Leo menengahi cepat, ia juga bisa merasa jengah jika terus melihat pertengkarang tak berarti seperti ini.

"Gue nggak nyolot."

"Tapi kalimat lo kesannya nyolot!" timpal Hasina yang baru saja datang dengan nampan berisi 6 coklat panas, "Sampai Nian pindah ke lain hati baru tau rasa lo," lanjut Hasina lagi sembari membagi-bagikan coklat pans tersebut.

Mengerutkan dahi, Neo tertawa remeh, "Gue nggak peduli!"

Sakit.

Nian mengulum bibirnya dalam, kedua jemarinya meremat keras celana yang ia kenakan. Kenapa Neo selalu mengucapkan satu kalimat tanpa memikirkan persaan orang lain terlebih dahulu.

Leo yang merasa perubahan raut wajah dari Nian pun kali ini ikut kesal, Neo itu terlampau keterlaluan, setidaknya ia harus mengerti situasi, "Neo! lo itu nggak punya hati banget, sih."

"Apa lo!? salah kalau gue bilang seperti itu!? jujur itu indah mas bro," Neo tersenyum sinis.

Kiera mendengus keras, ia sudah tidak tahan lagi dengan cara Neo berbicara, "Ya masalah lah! kemarin aja lo kayak orang sinting nyariin Nian di tengah hutan! sekarang apa!? ego lo turunin dikit!"

Kali ini mereka semua menjadi pusat perhatian para pengunjung mau pun pelayang kafe tersebut. Nian yang sedari tadi diam pun menghela berat, lalu angkat bicara, "Udah. Jangan bertengkar, ini nggak baik. Makasih Le, Kier, Sin, udah peduli sama gue. Dan buat Neo, oke, gue paham lo khawatir, tapi lama-lama gue jenuh juga dengar kalimat-kalimat menusuk dari bibir lo," Nian menghela sebentar, ia menunduk lalu mendongak kembali, kedua bola matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar hebat, "But can't you respect my feeling? Neo, your words cut me deeper than a knife."
Hening.

Neo menahan nafasnya lama. Jantungnya serasa diremat kuat-kuat, bukan itu maksudnya yang sebenarnya, bukan respon seperti ini yang ia inginkan.

Kiera menutup mulutnya menggunakan jemari, sedangkan Hasina sibuk meremat bahu Nian. Leo hanya bisa diam dan menatap kecewa.

Menghela. Terreo menggeser kursinya kebelakang, sudah cukup ia melihat drama yang terjadi saat ini, tangannya terulur untuk meraih jemari Nian.

"Cari angin sebentar," tutur Terreo pelan, Nian mendongak lantas dengan cekatan meraih genggaman tersebut dan pergi keluar. Sebelum berlalu, Terreo sempat berhenti lalu mengucapkan satu kalimat yang menghantam dirinya kuat, "Oh ya, Neo, you're a losers man right."

Nian memperdalam tundukkannya, perasaannya untuk saat ini sulit digambarkan. Ia mengucap syukur berulang kali dalam hati karena Terreo sudah mengulurkan tangannya lalu membawanya keluar.

Menghela. Terreo membawa gadis itu menyusuri trotoar, untung saja kafe tersebut berada dekat dengan sekolahnya yang kanan kiri jalannya masih tergolong bersih dan asri. Diliriknya gadis itu, seketika kedua sudutnya terangkat, ada perasaan hangat menjalar didalam hatinya dikala memandang wajah gadis itu.

Auranya sangat menenangkan juga menarik.

Bukan, ini bukan satu rasa dalam ketertarikan romansa. Ini hanya sebuah perasaan kecil dikala bisa menemukan kawan baru dengan hati setulus Nian.

"Re," panggil gadis itu pelan, "Thank's already bring me out from there."

Terreo menghentikkan langkahnya, ia sunggungkan sebuah senyum samar lalu setelahnya mengacak rambut gadis itu gemas, "No problem. Kita teman, gue juga sadar gimana sesaknya lo berada didalam sana."

Nian tersenyum, lalu setelahnya tertawa. Tawa yang sangat sederhana. Jujur tidak ada yang lucu, namun tawa yang Nian keluarkan seolah menular begitu saja, mau tidak mau Terreo pun ikut tertawa.

Tertawa bersama angin sore ditemani rintik hujan yang tak lagi deras.

****
Halloo

Maaf jika chapter kali ini tidak memuaskan

See u next chapter!

Ciao


NEONIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang