Sebelas;

24 3 0
                                    

Hujan semakin deras. Saat ini semua peserta berkumpul di tenda masing-masing, terkecuali 7 orang yang kini sibuk berbincang dibawah naungan selter. Mereka duduk melingkar dengan posisi -Vano, Kiera, Hasina, Neo, Nian, Terreo, Leo.

Mereka berpikir jika terus berada didalam tenda, bokong mereka sudah pasti akan terasa keram dan itu menyakitkan. Setidaknya jika berada di selter mereka lebih leluasa bergerak dan menghirup aroma petrichor yang menenangkan.

"Kalau hujan seperti ini terus, kita nggak akan bisa melanjutkan kegiatan selanjutnya," kata Vano sedikit cemas.

"Tunggu sampai siang nanti, mungkin aja udah reda," timpal Leo santai.

Memutar bola mata malas, Hasina berkata, "Kalau hujannya sampai besok bagaimana?"

"Bagus dong!" seru Kiera sepihak, "Jadi kita nggak perlu buang-buang tenaga buat kegiatan selanjutnya."

Pletak.

"Enteng banget itu rahangnya mba," Vano menjitak kening gadis itu lumayang keras.

Meringis, Kiera menatap sinis Vano yang kini balas menatap dirinya tak kalah tajam, "Sakit, Vano!"

Rintik hujan sepertinya enggan berhenti. Kemalasan yang meraka tunjukkan kali ini adalah berkat suasana sejuk serta tenang yang hujan berikan kala itu.

"Bosan," gumam Nian lalu setelahnya mengangkat lengan Neo untuk merangkul bahunya, "Nah, kalau begini gue jadi nggak bosan."

"Dih. Apaan lo, curut!" Neo melepas ranhkulan itu lalu bergeser sedikit menjauh.

"Nggak usah sok cuek gitu, Yo. Giliran Nian hilang aja lo kayak orang kesurupan lari-lari dalam hutan sendiri," ejek Hasina kini mendapat pelototan tajam dari Neo.

"Iya tuh! apa gue hilang lagi aja ya?"

"Jangan!"

Semua tersentak kaget ketika mendapati respon berlebihan Neo. Oke, sembunyikan dirinya untuk kali ini saja dari tatapan-tatapan menyebalkan itu.

"CIEEEEEEE!" seru semuanya lantas menyudutkan Neo.

Dilihatnya pipi pemuda itu merona, bisakah Nian berhenti untuk tidak tersennyum, untuk pertama kali dalam sejarah mengenal Neo, Nian bisa melihat sebuah rona merah tercetak jelas pada pipi pemuda tersebut.

Terkekeh, Nian menepuk-nepuk puncak kepala pemuda itu, "Gue bercanda, lo nggak perlu khawatir. Tapi lo lucu ya, hehe."

"Gue nggak khawatir!" elak Neo lagi.

"Halah! bohong!"

"Huu.. bilang aja lo khawatir!"

"Dasar pembual!"

"Hahahaha."

Ketika semua tertawa. Hanya Terreo seorang yang memandang hampa dan menelisik kedalam rimba hutan. Rasa pahit yang kali ini coba dirinya cecap itu seakan sangat terasa.

Kedua bola matanya mengintari sekitar selter. Memberi kesan waspada. Nian yang asik tertawa itu diam ketika mendapati wajah tanpa ekspresi Terreo, karena penasaran Nian dengan mulut yang terbiasa berbicara keras itu mengintrupsi.

"Terreo, lo kenapa diam?"

Hening.

Semua pendengaran sekaligus penglihatan tertuju pada satu titik. Tidak ada sahutan, pemuda itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Re, lo kenapa?" kini Leo menyikut pemuda itu, berusaha menyadarkan.

Tersentak. Terreo mengulum bibirnya dalam, lantas menatap satu persatu orang yang berada disekitarnya ragu, Nian yang tak sabaran itu kini semakin mendesak dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan.

NEONIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang